Adapun seseorang yang ketika tertimpa musibah lalu kemudian berkeluh kesah kepada manusia, maka hal itu telah keluar dari makna shabrun jamil.Â
Karena itu, dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersabar terhadap gangguan kaum musyrikin yang selalu mendustakannya.
Dalam konteks kekinian ketika menghadapi seseorang yang mengolok-olok kita atau tidak percaya dengan kebenaran yang kita sampaikan maka sikap kita seharusnya adalah menyampaikannya dengan baik dan kemudian terus bersabar.Â
Bersabar itu tidak ada batasnya, yang membatasi hanyalah kematian. Jadi, kita tetap bisa terus bersabar selama hayat masih dikandung badan.Â
Tingkatan sabar setiap orang itu berbeda-beda, tidak sama. Pahala bersabar itu tanpa hisab tergantung kadar kesabaran kita. Tapi kesabaran para Nabi adalah kesabaran yang sebenar-benarnya, sabar yang berkualitas, sabar tingkat tinggi.
6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil)
Meski Allah sudah memberikan adzab, kaum kafir tetap tidak percaya. Mereka tetap menganggap itu hal mustahil dan mengada-ada. Bagi mereka ini adalah absurd yang tidak dapat diterima nalar karena bertentangan dengan paham yang mereka anut. Kiamat, surga, neraka.Â
7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi)
Rasulullah berkata jarak surga dengan kita seperti dekatnya kita dengan sandal yang kita gunakan, tapi surga dan neraka itu lebih dekat lagi daripada sandal kita. Kita sangat dekat dengan sandal, tapi surga dan neraka lebih dekat lagi.
Artinya, kita tidak tahu akhir hidup kita. Tiba-tiba kita mati. Tidak menunggu kita tua, atau kita bertaubat. Apakah surga atau neraka? Kita melihat neraka itu nanti, jauh, padahal begitu dekat dengan kita. Jangan pernah kita memandang azab itu jauh, karena nyatanya begitu dekat.Â
Demikianlah. Semoga bermanfaat.
Wallahu'alam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H