Pengelola rumah produksi juga harus "belajar" dari "kekeliruan" masa lalu bahwa menjadikan anak sebagai pemeran dalam suatu kisah sinetron, drama, film atau seni peran secara keseluruhan harus diberikan peran yang sesuai dengan umur mereka sebagai anak.
Jangan sampai peran-peran tersebut memengaruhi secara negatif bagi tumbuh kembang dan psikologis anak.
Terlebih jika mengangkat poligami sebagai konflik utamanya. Isu ini di Indonesia cukup sensitif bagi sebagian orang. Namun, sinetron ini dirasa kurang peka akan sensitivitas tersebut. Apalagi jika poligami itu sendiri tidak merujuk pada Alquran dan Hadist, melainkan karena merujuk pada hawa nafsu.
Sejatinya bukan hanya tayangan sinetron itu saja yang harus dikritisi oleh orangtua dan masyarakat, tetapi juga sinetron-sinetron lainnya. Tayangan-tayangan dalam berbagai media platform internet seperti game online atau tayangan kartun juga perlu diwaspadai.
Semoga, ke depannya sinetron Indonesia menjadi lebih baik, yang tidak sekedar menjadi tontonan tetapi juga tuntunan. Semoga pula ke depan, anak-anak Indonesia semakin terlindungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H