Saya pun naik ke lantai 2 yang dikhususkan untuk jamaah perempuan. Saya perhatikan hanya beberapa orang saja. Oh begini keadaannya sekarang?
Di lantai saya perhatikan dipasangi tanda posisi jamaah dengan jarak 1 meter. Tandanya bergambar dua kaki, bukan tanda silang yang biasa saya lihat di foto-foto berita.
Karena jamaah perempuan sedikit, maka kami diminta mundur ke belakang karena area depan akan dipakai oleh jamaah laki-laki. Di hari pertama puasa Ramadhan, warga Permata Depok begitu antusias shalat berjamaah di masjid.
Sesudah shalat subuh dilanjutkan dengan pembacaan beberapa hadist, yang kali ini berkaitan dengan berbakti kepada kedua orangtua. Tidak bedalah dengan sebelum pandemi Covid-19 menjangkiti negeri ini.
Jamaah tidak diperkenankan lama-lama di masjid. Seusai melaksanakan hajatnya seperti berdzikir, jamaah pun dihimbau untuk segera meninggalkan masjid dan dilarang untuk berkerumun.
Ketika saya mau ke luar masjid, saya perhatikan penjaga masjid sudah bersiap-siap membersihkan area masjid yang sudah digunakan. Saya perhatikan juga di masjid disediakan sabun cuci tangan atau hand sanitizer.
Sejatinya, tidak ada larangan perempuan yang ingin melaksanakan shalat berjama'ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman.
Dari Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bahwasanya 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Â
"Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia." (HR. Muslim, no. 442).
Ada tiga syarat yang mesti dipenuhi ketika seorang wanita ingin shalat berjamaah di masjid: (1) menutup aurat, (2) tidak memakai minyak wangi, (3) harus mendapatkan izin suami. Demikian dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 3457.
Begitulah laporan pandangan mata saya mengenai suasana shalat subuh berjamaah di masjid perumahan saya di hari pertama puasa Ramadhan.