Dulu ya, sebelum Covid-19 "menjajah" negeri ini, setiap saya dikasih tahu oleh suami atau anak saya kalau ada salah satu anak kami badannya hangat atau demam, saya masih biasa-biasa saja. Saya bukan tipe orang yang gampang panikan soalnya.
"Bun, Adelia badannya demam," kata suami suatu ketika melalui pesan WhatsApp. Adelia adalah anak ketiga kami alias si bungsu. Terkadang informasi yang saya dapatkan itu ketika lagi ada urusan pekerjaan.
"Bun, Kakak Putik badannya demam, tadi daddy raba hangat gitu," kata suami dalam kesempatan yang lain. Putik, anak pertama saya.
"Bukan demam kali, badannya hangat. Coba diukur dulu suhunya. Kalau suhunya tidak sampai 37,5 derajat jangan dulu dikasih obat. Sering-sering saja dikasih air minum. Kalau suhunya di atas itu baru deh kasih obat penurun deman, tapi baca aturan pakainya," kata saya.
Sepengetahuan saya, anak dikatakan demam jika suhu tubuhnya di atas 37,5 derajat selsius, kalau dewasa di atas 38 derajat selsius. Jadi, saya selalu memastikan lagi anak kami benar demam atau hangat biasa dengan mengukur suhu tubuhnya pakai termometer.
Di rumah, memang saya sudah siap sediakan termometer digital, alat kompres, dan obat penurun demam. Ini yang utama yang harus siap sedia di rumah.
Kalau diukur lewat mulut dikatakan demam jika suhu 37,8 derajat Celsius, kalau diukur lewat anus suhunya 38 derajat Celsius, dan kalau diukur pada ketiak (di bawah lengan) suhunya 37,5 derajat Celsius.
Dan, sepengetahuan saya yang saya dapatkan dari dokter ketika memeriksakan anak ke dokter (biasa, karena saya sering bertanya-tanya pada dokter), jika suhu tubuhnya masih 37 derajat tidak usah dulu diberi obat penurun demam.
"Sering-sering saja minum air putih. Kalau demam baru kasih obat penurun demam," begitu kata dokter. Dan itu, saya terapkan sejak anak saya masih bayi sampai sekarang.
Setahu saya juga, demam pada anak menandakan anak kekurangan cairan atau dehidrasi. Itu sebabnya, sebagai "pertolongan pertama" saya selalu meminta anak saya untuk sering-sering minum air putih yang hangat.
Saya sudah sering bertemu dengan banyak dokter, baik dokter spesialis maupun dokter umum, sering juga ikut seminar yang berkaitan dengan kesehatan anak, sehingga saya punya "cukup bekal" bagaimana menghadapi situasi anak sakit.