Budaya patriarki membuat perempuan harus nurut pada suami dan ikut apa yang dikatakan suami. Kemudian, ketergantungan perempuan kepada suami dari sisi ekonomi, karena tidak punya pegangan dari segi ekonomi jadi apa pun yang dikatakan suami ya mereka ikut saja.Â
"Perempuan yang berada dalam ruang lingkup yang kecil juga terkadang tidak mendapat informasi yang luas terkait radikalisme sehingga mereka gampang dipengaruhi. Ini hanya sebagian faktor-faktornya," jelas Valentina.
Faktor sosial, perbedaan pola pikir, dan adanya doktrin dari keluarga atau lingkungan sekitar, serta karakteristik perempuan yang memiliki perasaan lebih sensitif dan emosi yang labil juga disebut Valentina sebagai faktor penyebab lainnya.
Ia menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang, sehingga mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.
Kemen PPPA sendiri fokus pada upaya pencegahan, agar perempuan tidak mudah terpapar radikalisme dan kekerasan ekstremisme yang mengarah pada terorisme. Yaitu, dengan melakukan pendekatan perempuan sebagai ibu.Â
Menurutnya, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. Peran perempuan sebagai ibu sangat strategis dalam mentransmisikan ideologi radikal.Â
"Jadi perlu mempersiapkan keluarga-keluarga agar lebih baik lagi dan ketahanan keluarga menjadi penting. Kita juga akan melakukan gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian. Ini akan kita aktivasi lagi dan mudah-mudahan proses pencegahannya ini bisa jauh lebih kuat tentunya bekerja sama dengan BNPT," ungkap Valentina.
Sementara itu, Ketua Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Amany Lubis, merasa prihatinan terhadap perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme. Adanya kejadian itu membuktikan wawasan keagamaan di kalangan perempuan masih perlu terus dibimbing dan diluruskan.
"Aksi terorisme oleh perempuan atau siapa saja, seharusnya tidak boleh terjadi jika saja mereka memiliki pemahaman keagamaan yang utuh dan menyeluruh. Sebab, dalam agama apa pun aksi terorisme itu sama sekali tidak dibenarkan, karena bukan bagian dari ajaran agama," tandas Rektor UIN Jakarta, ini.
Sesuai fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme, MUI menegaskan segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.Â
Sebagaimana hal itu tertuang dalam surat An Nisa ayat 29-30, yang artinya "Islam mengharamkan bunuh diri dengan cara apapun dan dengan alasan apapun. Tidak ada balasan kelak di akhirat kecuali neraka".Â