Saya pun berjumpa dengan guru ngajinya itu. Orangnya masih muda, enak dilihat, putih, memakai kemeja dan celana jeans. Duduk di sampingnya seorang perempuan yang diperkenalkannya sebagai isterinya.
Tetapi perempuan ini tidak berjilbab. Dia pakai rok di bawah dengkul dan baju lengan pendek. Rambutnya juga berwarna. Tidak menggambarkan sosok isteri guru ngaji yang umumnya biasa saya temui. Ya agak heran juga sih.
Sambil makan malam, guru ngaji bercerita tentang keimanan dan hijrah. Yang diartikannya menuju tempat yang lebih baik. Meninggalkan tempat yang penuh kemaksiatan menuju tempat yang lebih baik.
Ia menganalogikan negeri yang kita tinggali ini tempat penuh maksiat, maka kita perlu berhijrah ke negara yang orang-orang di dalamnya menjalankan syariat Islam. Dan, di dalam negara ini ada pemimpin-pemimpin yang disesuaikan dengan tugasnya.
Saya sih sebenarnya tidak tertarik, tetapi karena penasaran, saya menyetujui mengikuti pengajian berikutnya. Seingat saya di sekitar Bintaro di rumah kontrakan anggota pengajian.
Awalnya memang diberi materi soal Islam dan hijrah. Ayat-ayat mengenai hijrah disampaikan, ayat-ayat yang sering saya baca juga. Guru ngaji itu menyebutkan semua pemimpin di negeri ini adalah kafir karena tidak dijalankan berdasarkan syariat Islam.
Karena tinggal di negeri yang tidak berdasarkan syariat Islam, hal-hal yang dilarang Islam boleh dilakukan. Tidak memakai jilbab, tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat, melakukan kejahatan boleh dilakukan.
Nanti, ketika sudah hijrah ke negara Islam, baru kita menerapkan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Jadi, ketika kita masih di negara kafir, tidak ada dosa bagi kita untuk tidak menjalan syariat Islam. Karena tidak ada gunanya beribadah.
Tapi, nanti bisa ditebus dengan membayar denda berupa infak. Tidak shalat dendanya sekian, tidak puasa infaknya sekian. Dan, infaknya ini nanti diserahkan ke pemimpin di negara Islam sebagai kas untuk mendirikan negara Islam.
Ada infak harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Katanya semua dosa harus ditebus dengan membayar sejumlah uang. Tidak masalah uang yang didapat dari cara haram. Mencuri, merampok, maling, menipu, meski terhadap orangtua sendiri.
Mendengar penuturan ini, sebenarnya hati saya mulai berontak, tapi saya penasaran dengan kelanjutannya. Terlebih, untuk hijrah menuju negara Islam ada tiket yang harus dibayarkan, yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keikhlasan kita.