Seorang perempuan muda bernama Zakiah Aini, teridentifikasi sebagai pelaku penembakan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta Selatan, Rabu (31/3/2021). Pelaku disebut-sebut berafiliasi dengan ISIS.
Setidaknya begitu disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat jumpa pers, Rabu (31/3/2021) malam pascapenembakan. Katanya, sebelum beraksi di Mabes Polri, Zakiah Aini kerap mepaparkan jihad ISIS di grup WhatApps keluarga.
"Ada tulisan masalah bagaimana perjuangan jihad. Kami temukan juga pada saat penggeledahan di rumahnya surat wasiat dan ada kata-kata di WA grup keluarga (bahwa) yang bersangkutan akan pamit," ungkap Kapolri.
Kapolri mengatakan, Zakiah adalah pelaku penyerangan tunggal, atau dikenal dengan istilah lone wolf. Ia secara terang-terangan mendukung organisasi teror ISIS.
Zakiah disebutkan membuat akun Instagram beberapa jam sebelum beraksi. Pada akun tersebut ia mengunggah foto bendera ISIS dan keterangan tulisan terkait jihad ISIS.
Benar tidaknya wallahu 'alam.
Saya sendiri tidak tahu informasi apa-apa mengenai ISIS. Sering mendengar namanya, tapi wujudnya seperti apa, saya sama sekali tidak punya gambaran. Semuanya hanya berdasarkan apa yang saya baca di berita.
Terlepas dari itu semua, saya ingin berkisah tentang pengalaman saya yang pernah mengikuti ajaran sesat. Tapi akhirnya saya keburu keluar karena semakin ke sini ajaran yang saya terima tidak bisa diterima oleh logika saya.
Ajaran itu malah menurut saya menyimpang. Syukurlah, saya masih bisa membentengi diri saya karena sejak SMA dan kuliah saya pernah mengikuti halaqoh atau liko, sehingga saya punya hujjah yang cukup kuat untuk tidak menerima ajaran itu.
Kejadiannya sebelum saya menikah. Mungkin 20 tahun lalu. Ketika kawan kuliah saya, perempuan, memperkenalkan saya dengan seorang pemuda. Saya lupa, pemuda itu dia kenal di mana.
Singkat cerita, kami pun dekat. Kemudian, suatu hari dia mengajak saya ke Cilandak Town Square (CITOS). Katanya, dia mau memperkenalkan saya dengan guru ngajinya. Ok, tidak masalah. Selama tujuannya baik, saya menyetujui.
Saya pun berjumpa dengan guru ngajinya itu. Orangnya masih muda, enak dilihat, putih, memakai kemeja dan celana jeans. Duduk di sampingnya seorang perempuan yang diperkenalkannya sebagai isterinya.
Tetapi perempuan ini tidak berjilbab. Dia pakai rok di bawah dengkul dan baju lengan pendek. Rambutnya juga berwarna. Tidak menggambarkan sosok isteri guru ngaji yang umumnya biasa saya temui. Ya agak heran juga sih.
Sambil makan malam, guru ngaji bercerita tentang keimanan dan hijrah. Yang diartikannya menuju tempat yang lebih baik. Meninggalkan tempat yang penuh kemaksiatan menuju tempat yang lebih baik.
Ia menganalogikan negeri yang kita tinggali ini tempat penuh maksiat, maka kita perlu berhijrah ke negara yang orang-orang di dalamnya menjalankan syariat Islam. Dan, di dalam negara ini ada pemimpin-pemimpin yang disesuaikan dengan tugasnya.
Saya sih sebenarnya tidak tertarik, tetapi karena penasaran, saya menyetujui mengikuti pengajian berikutnya. Seingat saya di sekitar Bintaro di rumah kontrakan anggota pengajian.
Awalnya memang diberi materi soal Islam dan hijrah. Ayat-ayat mengenai hijrah disampaikan, ayat-ayat yang sering saya baca juga. Guru ngaji itu menyebutkan semua pemimpin di negeri ini adalah kafir karena tidak dijalankan berdasarkan syariat Islam.
Karena tinggal di negeri yang tidak berdasarkan syariat Islam, hal-hal yang dilarang Islam boleh dilakukan. Tidak memakai jilbab, tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat, melakukan kejahatan boleh dilakukan.
Nanti, ketika sudah hijrah ke negara Islam, baru kita menerapkan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Jadi, ketika kita masih di negara kafir, tidak ada dosa bagi kita untuk tidak menjalan syariat Islam. Karena tidak ada gunanya beribadah.
Tapi, nanti bisa ditebus dengan membayar denda berupa infak. Tidak shalat dendanya sekian, tidak puasa infaknya sekian. Dan, infaknya ini nanti diserahkan ke pemimpin di negara Islam sebagai kas untuk mendirikan negara Islam.
Ada infak harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Katanya semua dosa harus ditebus dengan membayar sejumlah uang. Tidak masalah uang yang didapat dari cara haram. Mencuri, merampok, maling, menipu, meski terhadap orangtua sendiri.
Mendengar penuturan ini, sebenarnya hati saya mulai berontak, tapi saya penasaran dengan kelanjutannya. Terlebih, untuk hijrah menuju negara Islam ada tiket yang harus dibayarkan, yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keikhlasan kita.
Untuk menuju negara Islam ini kita harus dibai'at untuk pengambilan sumpah. Saya jadi penasaran wujud negara yang dimaksud. Setelah "berinfak" saya pun menyetujui untuk hijrah. Saya ingin tahu saja ajaran apa ini?
Singkat cerita saya akhirnya mengikuti pembaiatan. Saya dijemput. Ternyata saya tidak sendiri. Ada beberapa yang ikut. Semua masih muda. Sebagian bekerja sebagai pekerja informal. Dan, selama perjalanan itu mata kami ditutup. Tidak boleh melihat ke sekeliling.
Sampailah saya di suatu tempat, yang entah di mana. Saya belum pernah ke sini. Di sini, kami mendapatkan kajian. Dikatakan, tidak mewajibkan shalat lima waktu bagi para anggotanya dengan alasan belum futuh (masih fatrah Makkah) meski mereka mengaku telah berada dalam Madinah. Justeru di Madinah-lah Rasulullah Saw. benar-benar menerapkan syari'at Islam.
Dikatakan juga sholat lima waktu ibaratkan dengan doa dan dakwah. Sehingga, jika sedang berdakwah, maka itu sudah anggap sedang mendirikan shalat. Shalat Jum'at diibaratkan dengan rapat/syuro. Jadi, saat rapat di hari Jumat, maka sudah dianggap sedang mendirikan shalat Jum'at.
Kami pun dibaiat. Karena kami sudah hijrah, maka nama kami harus diganti. Saya lupa nama baru saya ini. Kami juga mengucapkan dua kalimat shahadat yang ternyata ada perubahan redaksional.
Kata Muhammadarrosulluh-nya diganti dengan nama pemimpin di negara ini. Wah, semakin tidak karuan hati saya. Apa-apaan ini? Fix, jelas ini menyimpang.
Setelah pembaiatan, kami pun diantar pulang dengan mata yang juga tertutup. Beberapa hari setelahnya saya berjumpa dengan pemuda yang mengenalkan saya dengan ajaran sesatnya ini. Saya memarahinya mengapa dia mengajak saya ke ajaran sesat.
Saya sempat mengikuti satu kali kajian mereka dan meminta saya untuk mencari orang yang mau diajak. Setelah itu, saya menyatakan mengundurkan diri. Saya sampaikan ajarannya tidak sesuai dengan apa yang saya pahami dan apa yang sudah saya pelajari.
Saya sampaikan juga tidak nyaman berada di lingkungan ini. Kalau nanti saya dicari-cari dan mau dibunuh, silakan saja. Semuanya saya pasrahkan kepada Allah. Beberapa hari setelahnya, saya masih sempat ditelepon untuk diajak kajian tapi saya tolak.
Menurut saya, ajaran ini bentuk makar terhadap negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena ingin membentuk negara dalam negara, dan juga mengabaikan syariat Islam.
Ya Alhamdulillah...sejak itu saya putus kontak dengan orang-orang itu, sampai sekarang.
Inti, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus berhati-hati mengikuti ajaran yang menyesatkan. Bentengi diri dengan keimanan agar mampu melepas dari ajaran yang bisa saja kelak merugikan dan membahayakan diri kita dan keluarga.
Berhati-hatilah dan waspada. Jangan sampai muncul korban-korban akibat ajaran sesat yang melakukan kerusakan atas nama agama. Cukup sampai di Zakiah. Berharap tidak ada lagi Zakiah-Zakiah yang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI