Tanaman porang yang saat ini tengah viral, sejatinya bukanlah tanaman yang baru-baru ini muncul di Indonesia. Tanaman ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sejak jamannya penjajahan, tepatnya saat Jepang menjejakkan kakinya di sini.
Jepang menjajah Indonesia bukan semata-mata ingin menguasai rempah-rempah kita, tetapi ingin menguasai porang, tanaman asli Indonesia. Bagi orang Jepang, porang adalah sumber pangan utama, bukan padi atau gandum.
Indonesia sudah lama mengenal porang, sayang karena kurangnya pemahaman, porang hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tidak ada manfaatnya. Saat penjajahan Jepang, orang kita memang disuruh untuk menanam porang tanpa diinformasikan untuk apa. Pokoknya diperintahkan menanam saja.
Itu dulu, ketika orang-orang kita dengan mudahnya dibodohi oleh penjajah. Kekinian, masyarakat kita mampu membuka rahasia khasiat porang yang selama ini ditutupi oleh Jepang. Lama-kelamaan, porang pun menjadi naik daun. Tanaman ini ternyata bisa dimanfaatkan untuk pangan, farmasi, kosmetik, dan cat.
Dan, kini tanaman porang banyak dicari dunia. Masyarakat pun banyak yang beralih menjadi petani porang. Salah satunya, Paidi. Mantan pemulung ini kini menjadi Direktur Utama PT Paidi Indo Porang, perusahaan yang didirikannya 10 tahun lalu.
Keberhasilannya membudidayakan porang hingga bisa eksport, mendorong Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bidang Pendidikan, Iptek, Sosial, dan Budaya (Dikteksbud) untuk menghadirkannya dalam Webinar Nasional Teknologi Aneka Pembuatan Pangan dan Obat Berbasis Porang yang Prospektif dan Mendunia serta Sedang Viral, Kamis (1/4/2021).
Dalam pengantarnya, Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd, menyampaikan, Paidi memang sengaja diundang agar bisa menginspirasi yang lain untuk ikut membudidayakan porang. Setidaknya, orang-orang bisa paham tanaman porang memiliki banyak manfaat yang bisa diolah untuk pangan dan nonpangan.
"Sebagai organisasi federasi, Kowani menaungi anggotanya hingga ke akar rumput. Sebagai ibu bangsa, anggota Kowani dituntut untuk selalu inovatif dan kreatif yang bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan, terlebih di masa pandemi Covid-19. Karena itu, webinar ini dapat memberikan pengetahuan kepada para ibu dan peserta lainnya," kata Giwo.
Dalam webinar yang dimoderatori Ir. Nia Wardini Said Didu, Ketua Bidang Dikteksbud, ini juga dihadirkan pembicara  lainnya, yaitu Dekan Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (FTP UGM) Prof . Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc, Ketua Umum Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) Dr. Ir. Retno Sri Endah Lestari, M.Sc, Ph.d, dan Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan dr. Wiendre Waworuntu, M.Kes.
Â
Paidi, lelaki yang tinggal di Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, ini menjadi seorang miliarder setelah membudidayakan porang. Padahal, usianya masih muda, "baru" berusia 38 tahun.
Dulu, pria berambut gondrong itu hidup serba kekurangan dan bekerja serabutan. Rumahnya saja dari anyaman bambu. Menjadi cleaning service, office boy, mekanik bengkel sudah pernah dilakoninya. Jual tahu, jual ayam, jual buah, sampai bangkrut semua. Hingga akhirnya dia menjadi pemulung.
Ia mengenal porang lewat kawannya sesama anak panti asuhan, yang katanya memiliki nilai jual tinggi. Ia pun berusaha mencari referensi melalui internet tentang kegunaan porang. Setelah tahu manfaat porang, ia pun memutuskan harus menekuni bisnis ini. Pada 2010 ia lantas mendirikan perusahaannya yang sekarang.
Menurut Paidi, berdasarkan hasil penelusuran terkait porang, diketahui 80 persen untuk makanan dan 20 persen untuk kosmetik. Ia lalu menyimpulkan porang memiliki nilai ekspor. Ia jadi bersemangat mencari porang yang masih langka dan tumbuh liar di hutan di kampung.
Paidi menjelaskan, dengan lahan 1 hektare, jika ditanami porang semuanya, dalam kurun dua musim atau sekitar dua tahun, petani bisa meraup omzet Rp 800 juta. Dari omzet tersebut, petani bisa mengantongi keuntungan Rp 700 juta setelah dikurangi biaya pengadaan bibit, pupuk, hingga pengolahan lahan sekitar Rp 100 juta.
Jika dulu masa panen porang menunggu sampai bertahun-tahun, kini hanya dalam waktu 6 hingga 8 bulan. Jelas, sangat menguntungkan petani.
Kini, Paidi sudah menjadi pengepul porang yang memiliki 66 karyawan. Paidi juga memiliki lahan porang sendiri seluas 10 hektare di kampungnya. Ia tidak pelit ilmu.
Ia kerap membagikannya secara gratis kepada masyarakat kampung. Mulai pelatihan  hingga pembagian bibit. Baik secara langsung maupun melalui blog pribadinya dan Youtube. Tujuan Paidi membagikan di media sosial ini, agar petani di manapun mereka berada dapat mengembangkan porang.
Saat ini mayoritas masyarakat di desa Kepel adalah petani porang. Sebelumnya, mereka adalah petani cengkeh dan durian, yang hasil panennya tidak sebanyak jika dibandingkan dengan tanaman porang.
Terinspirasi dari kesuksesan Paidi bercocok tanam porang yang mereka lihat sendiri hasilnya, akhirnya mereka tertarik untuk mengikuti jejak Paidi. Mereka belajar, mendapatkan benih dan bercocok tanam sesuai ilmu yang dibagikan Paidi secara suka rela.
"Percuma juga kita berbusa-busa bercerita kalau porang menjanjikan jika petani tidak melihat contoh yang ada di lapangan. Karena saya berhasil dan membuktikannya, mereka pun akhirnya percaya," katanya.
Porang, jenis umbi-umbian yang bentuknya tidak beraturan dan membuat gatal yang menyentuhnya ini sering dijumpainya di hutan. Porang tidak bisa dimakan begitu saja. Harus diolah terlebih dahulu.
Umbi porang ternyata memiliki nilai yang cukup tinggi. Banyak kandungan yang dimiliki Porang dan bisa dimanfaatkan, membuat Porang memiliki nilai jual yang cukup tinggi baik di dalam ataupun di luar negeri.
Banyak negara seperti Jepang, Taiwan, dan Korea, mengolah umbi porang menjadi sumber makanan, yang didapatnya salah satunya dari Indonesia.
Selama ini pasokan porang dipenuhi dari pedagang kecil yang mengumpulkan umbi yang tumbuh liar di hutan atau di sekitar perkebunan sehingga lama-kelamaan akan habis jika tidak ada upaya dibudidayakan.
Sambil bercocok tanam Porang, Paidi terus belajar melalui internet, cara terbaik mengembangkan tanaman porang. Hingga sampai suatu saat ia merancang program yang disebutnya revolusi pola tanam baru.
Dengan cara seperti ini mengubah cara tanam lama menjadi tanam baru. Bukan hanya ditanam saja, namun dipelihara, dijaga sampai panen selama 2 tahun.
Dengan revolusi pola tanam baru yang dikembangkan Paidi, umbi porang yang dihasilkan jauh lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan penanaman di bawah tegakan.
"Dengan mengikuti revolusi pola tanam baru, petani bisa memanen porang per hektar dengan keuntungan hingga Rp 800 juta," kata Paidi sambil menunjukkan lembaran kertas yang berisi laporan keuangan petani binaannya.
Keberhasilan Paidi mengembangkan porang tidak dinikmatinya sendiri. Ia juga membagikannya kepada banyak orang. Tidak sekedar berhasil mengangkat derajat hidup petani-petani desa yang telah mengikutinya, budidaya porang telah mengantarkan desa Kepel Kabupaten Madiun menjadi 3 desa terbaik di Indonesia pada 2020 dalam program pemberdayaan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H