Karena itu, kita perlu selalu memikirkan terpenuhinya kebutuhan air bersih pada setiap bencana, baik pada masa tanggap darurat maupun pada saat tanggap darurat. Terlebih negeri kita terkenal sebagai "gudangnya" bencana.Â
Dokter Lucky yang sering terlibat dalam kegiatan penaggulangan bencana, menyarankan akses yang sulit di lokasi bencana perlu contingency plan atau tindakan alternatif, yang tentu saja harus melibatkan banyak sektor.
"Air bersih sangat urgen pada saat penanggulangan bencana dan akses lokasi dapat memperberat penanggulangan," tandas dr. Lucky yang juga sebagai Ketua Bidang Mitigasi dan Penanggulangan Bencana IDI.
Sementara itu, dr. Sarbini Abdul Murad menyampaikan, urgensi air bersih pada saat bencana sosial (konflik dan perang) menuntut kita untuk belajar dari pengalaman bencana-bencana besar sebelumnya. Kita seharusnya belajar dari tsunami Aceh, agar tidak kelabakan dan gagap menghadapi setiap terjadi bencana.
"Kunci kemenangan Rasulullah dan sahabat pada perang Badar karena menguasai sumber air yang dikenal Sumur Badar. Sehingga air harus menjadi prioritas dipersiapkan pada saat terjadi konflik," tuturnya.
Mungkin karena kita berada di negara tropis yang selalu ada hujan, jadi kita tidak pernah merasa akan kekurangan air kecuali ketika kemarau sudah tiba.
Ia mencontohkan Jepang yang selalu cepat dalam menangani bencana yang terjadi. Bahkan sebelum terjadi bencana, Jepang sudah mempersiapkan diri terkait langkah-langkah strategis yang harus ditempuh ketika terjadi bencana.
Menurut Dr. Rusnandi Garsadi, pada setiap bencana ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan air bersih, yaitu lokasi, kecepatan penanganan air pada setiap bencana, dan kapasitas.Â
Teknologi Micro Hydraulic Water Treatment atau pengolahan air bersih yang dibuat oleh LAPI ITB dapat menjawab ketiga hal tersebut. Teknologi ini bisa disesuaikan dengan kondisi bencana. Terlebih teknologi ini dalam proses pengolahan air tanpa memerlukan energi listrik.