Dengan maraknya alat transportasi yang mudah dipesan lewat aplikasi daring di gawai, sudah bisa pastikan menggerus pendapatannya. Belum lagi bus Trans Jakarta yang juga menawarkan kenyaman. Â
Satu-satunya pilihan untuk bisa mendapatkan penumpang ya dengan ngetem. Ya meski seringnya sepi juga. Karena itu, ia bersyukur saya mau menjadi penumpangnya.
Sebelum pandemi, setiap hari dia harus menyetor sebesar Rp 100 ribu pada pemilik bajaj, namun berhubung Covid-19, setoran diturunkan setengahnya, menjadi Rp 50 ribu per hari. Jadi, cukup berat terlebih di usianya yang mulai ringkih.
Darinya, saya belajar banyak, bahwa masih ada harapan di saat kita tetap mau berusaha. Sekecil apapun itu hasilnya, tetap harus disyukuri.Â
Ketika kita menaruhkan harapan pada sepenggal doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka biarkan doa itu yang bekerja. Kekuatan doa tak terletak pada ujung jari telunjuk atau jempol yang memainkan gawai.
Tak lama, kami pun sampai. Perjalanan yang tidak sampai 20 menit karena memang jaraknya dekat. Setelah membayar, saya pun mengucapkan terima kasih dan meminta izin untuk memotretnya.Â
Abang supir kembali mengegas bajajnya beberapa kali, kembali menjemput rezeki yang tersisa untuknya di antara denyut jantung ibu kota.
Bagaimanapun, saya tetap harus mengucapkan terima kasih pada bajaj dan abang supir karena sudah berjasa mengantarkan banyak orang.
Sampai suatu waktu, bajaj pun beristirahat karena tergerus zaman. Saat kekuatan jari dan jempol melalui gawai sanggup mengubah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H