Kognitif (berkaitan dengan nalar atau proses berpikir) seperti rendah diri, kosentrasi menurun, daya ingat menurun, rasa bersalah, ingin bunuh diri. Fisik (berkaitan dengan fisik) seperti gangguan tidur, gangguan nafsu makan, lelah, psikomotor menurun, hasrat seksual menurun.
Pejabat sekalipun yang ketika divonis Covid-19, akan mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan mental orang yang divonis positif Covid-19 akan lebih "hebat" dibanding orang yang divonis kanker.
Meski awal-awalnya sama ada penolakan mengapa bisa terjadi, tetapi orang yang divonis kanker masih lebih "beruntung" karena masih bisa berkumpul dengan keluarga. Tidak ada stigma juga yang disematkan ketika ia sudah menjalani pengobatan.
Berbeda dengan orang yang divonis positif Covid-19. Tidak bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, tidak bisa dijenguk, dijemput petugas dengan APD lengkap, belum lagi stigma yang didapat dari masyarakat, terisolasi dari masyarakat, hingga bayang-bayang kematian. Dan, ini akan memunculkan gangguan kesehatan mental yang turbulensi.
Bagi pasien non-Covid-19, boleh dikata hampir setiap saat sanak keluarga silih berganti mengunjungi, membesuknya. Bahkan dibolehkan satu atau dua orang menunggu di ruangan.
Kondisi ini sangat berbeda untuk pasien dengan Covid-19. Â Sejak masuk ruang isolasi IGD rumah sakit atau bahkan sebelumnya, pihak keluarga sudah tidak dibolehkan bertemu langsung dengan pasien.
"Persoalannya, yang mengalami gangguan kesehatan mental itu bukan hanya dialami pasien positif Covid-19 saja. Mereka yang noncovid pun akan mengalami hal serupa. Cemas, khawatir akan tertular, gelisah, stress. Bahkan tidak sedikit pula yang frustrasi karena kehilangan pekerjaan, tidak punya uang, dan lain-lain," tutur Dina.
Menurut dr. Agung Frijanto, masalah ganguan kesehatan mental ini juga dialami tenaga dokter dan tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19. Yang ternyata luput juga dari perhatian masyarakat dan pemerintah. Padahal, mereka juga mengalami gangguan yang sama.
Khawatir akan terinfeksi dan menularkan ke keluarga, perasaan frustrasi ketidakpuasan pada pekerjaan, perasaan kesepian terisolasi, kontak langsung dengan pasien positif Covid-19, pasien menyembunyikan riwayat medis, dan peningkatan rasio kerja mengingat jumlah pasien Covid-19 yang terus merangkak naik.
Jumlah dokter dan tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah pasien yang datang membuat mereka dituntut untuk bekerja tanpa henti dan kurang beristirahat. Selain itu, mereka juga menyaksikan puluhan ribu pasien yang tersiksa akibat Covid-19, sehingga tidak heran jika kesehatan mental tim dokter juga ikut terganggu.