Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

WNA di Mata Saya?

19 Januari 2021   17:44 Diperbarui: 19 Januari 2021   18:11 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peter van Tuijl, Direktur Nuffic Neso Indonesia, bersama bidadari-bidadari cantik, saya pakai baju dan jilbab orange (Dokpri, sebelum Covid-19)

WNA di mata saya? Kalau berdasarkan pengalaman pribadi saya sih ya tidak bagaimana-bagaimana. Biasa-biasa saja. Tidak memperlakukannya secara istimewa. Terlebih saya juga jarang berinteraksi dengan bule. Hanya segelintir bule yang berelasi dengan saya.

Kalau bertemu dengan bule sih sering banget itu. Di jalan, pantai, mall, perkantoran, tempat objek wisata, atau lainnya. Pemandangan biasa itu. Apalagi kalau sedang melintasi jalan Jaksa, Jakarta Pusat, nah sudah bisa dipastikan akan bertemu dengan bule.

Ngobrol dengan bule? Ya sering juga. Baik orang bulenya menelepon saya (karena kebetulan relasi), atau bertemu dalam suatu kegiatan, atau ketika orang bule nyasar mencari lokasi yang dituju. Ah biasa saja. Saya tidak merasa diri saya inferior dan juga tidak menganggap si bule superior.

Dulu sih, saya punya kejadian yang mengesalkan ketika berada di Bali. Ceritanya, saya bersama dua kawan saya merasa diabaikan saat mencoba memesan makanan di suatu restoran. Sementara pelanggan lain yang berwajah bule, yang datangnya belakangan eh malah didahulukan.

Kejadian seperti ini tak hanya saya mengalami. Beberapa kawan saya juga pernah mengeluhkan perlakuan penyedia barang dan jasa terhadap bangsanya sendiri. Yang kerap berbeda perlakuan kepada wisatawan mancanegara, apalagi mereka yang berkulit putih.

Ya, bukan rahasia lagi jika perlakuan terhadap bule di Indonesia selalu lebih diutamakan daripada warga lokal. Sampai sekarang masih begitu. Padahal mereka hanya orang luar negeri biasa yang datang ke Indonesia.

Dalam hukum, orang asing adalah orang yang bukan penduduk asli atau warga negara yang dinaturalisasi dari tanah tempat mereka ditemukan. (wikipedia)

Kalau dia artis atau orang terkenal di negara asalnya masih bisa dimaklumi. Lha ini? Kalau kita ke negara sana diperlakukan sama, ya mungkin tidak masalah juga. Hitung-hitung imbal balik. Tapi kan ini tidak?

Pernah suatu ketika kawan saya mau menyewa suatu tempat lumayan elit di bilangan kuningan buat keperluan kantornya. Kawan saya pun menelepon tempat itu dengan bahasa Indonesia.

Oleh orang di seberang sana, bilangnya full. Terus tidak lama kemudian, kawan saya coba reservasi lagi dong, kali ini dengan menggunakan bahasa Inggris, eh langsung dibilang ok. Yaelah, sampai sebegitunya.

Sebenarnya bukan salah bulenya juga sih, tapi perlakuan orang kita terhadap bule di Indonesia yang cukup menjengahkan. Para bule sering dipandang lebih tinggi (superior), sedangkan warga lokal dianggap lebih rendah (inferior).

Masih ada masyarakat kita yang merasa inferior dibanding bule bisa jadi akibat "efek samping" dari masa penjajahan. Terutama saat dijajah Belanda yang selama ratusan tahun itu.

Sudah dijajah, eh penjajahnya selalu berpakaian bagus dengan tubuh yang terawat. Jadi memunculkan kesan masyarakat kita lebih rendah dibanding orang bule. Terlihat dari bahasa tubuh yang selalu menunduk, bahkan berjalan dengan berjongkok.

Begitu setidaknya gambaran yang saya dapatkan saat menonton film-film perjuangan. Apa iya karena itu?

***

Saya perhatikan laman Facebook saya. Di situ ada notifikasi pengajuan pertemanan yang belum juga saya tanggapi. Ada sekitar 80 orang yang mengajukan pertemanan kepada saya.

Dan...taraaa.... semuanya WNA. Setidaknya jika dilihat dari nama dan profil fotonya. Dari fotonya sih memang terlihat ganteng, hidung mancung, mata indah, senyum manis, tubuh atletis. Ya... tipikal orang bule gitu deh.

Profil pekerjaannya pun ok banget. Entah memang begitu apa adanya, atau memanipulasi data biar terlihat keren, agar saya atau yang lain tertarik padanya? Tapi saya sih tidak tertarik sama sekali.

Itu sebabnya saya jadi bertanya-tanya, kenapa jadi banyak orang bule mengajukan pertemanan? Terlebih setelah dikulik-kulik saya tidak mengenalnya, dan tidak memiliki teman yang sama dengan saya. Dari mana tuh orang bisa menemukan saya?

Entah sudah berapa banyak yang mengajukan pertemanan kepada saya, yang selalu saya abaikan setelah saya menelusurinya. Sepintas sih banyak yang terlihat tidak jelas.

Tapi suatu ketika karena penasaran, saya mencoba menerima pertemanan dari seorang pria bule. Foto profile bersama perempuan cantik, yang dugaan saya mungkin istri atau pacarnya.

Jadi amanlah kalau saya menerima pertemanannya. Dia tidak mungkin akan main-main dengan pasangannya. Apalagi cantik. Saya pun menerima pertemanan darinya.

Dan...tak lama setelah itu, ia pun mengirimkan pesan lewat messenger. "Hai, Anda benar-benar terlihat cantik, apakah Anda sudah menikah?" tanyanya dalam bahasa Inggris.

Jelas dong saya jadi parno mendapat pertanyaan seperti itu. Baru saja accept pertemanan kok pertanyaannya menyimpang begitu? Baru juga kenal sudah langsung main "tembak" aja. Tidak ada pertanyaan yang basa basi begitu. Semisal "Apa kabar, lagi ngapain?"

"Ya, saya sudah menikah dengan tiga putri," jawab saya. "Wow, ini indah!" katanya. Waduh nih bule bikin saya ketar ketir. Buat apa juga dia ngomong begitu, bukankah dia sudah punya pasangan?

Maka selanjutnya saya mengabaikan. membiarkannya. Saya setting messenger, dia bisa saja menchat saya, tapi pesannya tidak tersampaikan ke saya. Atau kalau amat mendesak saya akan mendeletenya.

Saya kembali penasaran, dengan kembali menerima pertemanan dari bule. Dan ketika sudah saya tanggapi, eh kelakuannya sama saja seperti yang sebelumnya. Ya sudah sejak itu, saya sering mengabaikan perteman dari para bule.

Ternyata bule...

***

Tidak semua orang bule itu begitu. Seperti halnya orang Indonesia, ada yang baik, ada juga yang tidak. Ada orang bule yang begitu ramah dengan orang lokal dan taat pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan begitu perhatian pada bangsa ini.

Dia adalah Peter van Tuijl, yang menjabat Direktur Nuffic Neso Indonesia sejak 2017 hingga sekarang. Nuffic adalah organisasi nirlaba untuk kerja sama internasional dalam bidang pendidikan.

Bagi kalangan aktivis Tanah Air, Peter van Tuijl bukanlah nama yang asing, meski namanya berbau asing. Sejak 1981, Peter yang berkewarganegaraan Belanda itu sudah masuk ke Jakarta dan terlibat aktif mengurus yayasan untuk keluarga tahanan politik peristiwa G30S/PKI.

Peter yang juga pernah menjabat Direktur Eksekutif Kemitraan Global untuk Pencegahan Konflik Bersenjata (GPPAC), memang ahlinya untuk bidang civil society mengingat ia memiliki gelar master bidang Modern Asian History and the Economy of Developing Countries di University of Amsterdam, Belanda.
 
"Di Belanda juga kami akan banyak belajar dari Indonesia. Saya rasa senang, jika kami bisa saling berbagi untuk terus mendukung mahasiswa Indonesia. Kami bikin hubungan satu level untuk bikin riset, magang, pertukaran, short course dan lain-lainnya," kata Peter dalam suatu kesempatan.

Selama saya mengenalnya, saya tidak melihat ia sosok yang superior, yang ada low profile malah. Mungkin hanya segelintir orang bule seperti dia? Atau juga hanya segelintir orang yang berperilaku seperti Kristen Grey? Entahlah, saya tidak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun