Wisata "backpacker" yang melelahkan sekaligus menyenangkan.
Alhamdulillah... perjalanan keliling Jawa (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat) dari 24 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021 tuntas sudah. Tiba di rumah di kawasan Citayam, Depok, Jawa Barat, dengan selamat.Saya menamakan perjalanan ini dengan "Tour de Java" tapi suami saya ingin menyebutnya dengan "Ekspedisi 3 Dara Plus" merujuk tiga anak saya -- Putik Cinta Khairunnisa, Annajmutsaqib, Fattaliyati Dhikra, plus Aninda Alicia, kawan anak pertama saya yang bersekolah di SMPN yang sama.
Ini adalah "ekspedisi" terlama dan pertama kalinya saya lakukan bersama keluarga dalam rangka liburan tahun baru 2021. Juga dalam upaya menyenangkan hati anak-anak yang sudah selama 9 bulan ini terkurung di rumah gara-gara Covid-19.
Tahun lalu, kami juga mengisi liburan akhir tahun di Cikole, Lembang, Jawa Barat, lalu lanjut kemping di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang masih wilayah Jawa Barat juga. Tapi durasinya tidak lama. Dari 26 Desember 2019 sampai 1 Januari 2020 (sampai di rumah dini hari). Hanya seminggu.
Baca juga:
Liburan Akhir Tahun Keliling Jawa dengan Isuzu Bighorn "Rakitan" Suami
Jadi, saya cukup antusias juga mengikuti trip  "Tour de Java" ini. Terlebih hasil rapid test saya dan keluarga hasilnya non reaktif. Dalam kalkulasi saya, biayanya juga tidak menguras tabungan. Cukup mengandalkan "bonus" akhir tahun dan fee jasa saya menulis. Untuk urusan BBM, biaya tol, dan hal-hal terkait mobil, itu menjadi bagian suami saya.
Perjalanan cukup seru juga mendebarkan alias "sport jantung". Terutama menyangkut performa mobil Isuzu Bighorn hasil "rakitan" suami. Yang namanya rakitan ya tetap saja harus disadari bukan berarti mulus tanpa cacat. Terlebih mobil rakitan ini dari mobil lama.
Ya Alhamdulillah selama perjalanan sih aman-aman saja. Mampir ke beberapa bengkel hanya mengganti onderdil, baut, "meluruskan" kaki-kaki mobil, dan oli mesin. Selebihnya mulus tanpa aral dan rintangan yang berarti.
Tujuan utama ekspedisi ini sebenarnya ke Gunung Bromo, Malang, Jawa Timur, sebagaimana permintaan anak pertama saya. Tapi karena melintasi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, jadilah diagendakan juga mampir ke tempat wisata yang belum anak-anak kunjungi.
Karena ini perjalanan "backpacker" alias "ngegembel", maka selama perjalanan kami bermalam dalam berbagai tempat. Mulai di rest area, pinggir jalan dengan mendirikan tenda, warung, hotel, rumah keponakan suami, hingga pinggir pantai.
Ya seru-seru saja sih. Tidak ada keluhan juga dari anak-anak. Mungkin karena dikelilingi pemandangan alam yang indah, jadi anak-anak cukup menikmati. Foto sana, foto sini. Bergaya begini, bergaya begitu. Mungkin juga karena ini pengalaman pertama, jadi enjoy-enjoy saja.
Kalau soal makanan, saya lebih banyak membeli di kedai-kedai setiap menyinggahi suatu tempat. Harganya juga masih standar. Tidak ada yang dimahal-mahali. Kecuali di rest area yang harganya agak mahal, tapi menurut saya masih normal.
Saya masak cuma dua kali yaitu saat makan siang bikin nasi goreng nugget ketika menunggu mobil dioprak oprek oleh kawan suami sesama komunitas Tropper, di bengkel pribadi di sekitar Sleman, Yogyakarta, dan saat di Pantai Jolangkong, Malang, Jawa Timur, bikin nasi goreng sosis sapi untuk sarapan pagi. Sudah. Itu saja. Selebihnya di warung-warung makan.
Selama perjalanan, sebagai penunjuk arah, suami mengandalkan teknologi informasi berbasis geografi bernama Google Maps. Mau pergi ke kota lain tapi tak tahu jalan sekarang tidak perlu khawatir untuk tersesat. Dengan Google Maps semua akan teratasi.
Google maps adalah layanan pemetaan berbasis web yang dikembangkan oleh google. Layanan ini memberikan citra satelit, peta jalan, panorama 360, kondisi lalulintas dan perencanaan rute untuk bepergian berjalan kaki, mobil, sepeda atau angkutan umum (Wikipedia).
Menggunakan layanan ini kita dapat mengetahui posisi destinasi yang akan dituju atau yang akan ditemui di sepanjang perjalanan seperti SPBU, toko, restoran, cafe, masjid, dan lain-lain. Termasuk kontur jalanan apakah menanjak, menurun, berbelok, atau menikung. Juga situasi jalanan apakah macet atau tidak.
Idealnya, menggunakan Google Maps kita tidak mudah tersesat, dapat menemukan jalan pintas, mengetahui tempat menarik di sekitarnya, dan dapat lebih menikmati perjalanan. Pengalaman berwisata pun menjadi lebih baik dan mengesankan.
Nah, saya tidak paham juga mengapa Google Maps selalu mengarahkan ke jalanan yang sepi, berkelok-kelok, dengan tanjakan dan turunan yang cukup tajam. Semakin menegangkan ketika menyusuri jalanan di malam hari tanpa ada lampu penerang di kanan kiri jalan.
Beberapa kali bahkan Google Maps mengarahkan jalanan yang sempit dan tidak mulus. Entah karena dicarikan rute dengan waktu tempuh yang lebih cepat, entah karena Google Maps tahu kalau mobil yang kami kendarai adalah jenis mobil tangguh yang bisa menjelajahi segala kontur jalanan?
Ya iya sih tangguh, tapi setangguh-tangguhnya mobil ya kan belum tentu kami setangguh mobil. Bayangkan saja berkendaraan sendirian di jalan gelap gulita, kanan kiri hutan, dan terkadang melalui jurang juga.
Kalau terjadi apa-apa di tengah jalan, dibegal misalnya, siapa yang menolong? Satu-satunya laki-laki dalam mobil ya suami saya seorang. Saya yang dewasa dan anak-anak yang masih kecil, apa yang bisa kami lakukan jika itu terjadi? Kalau siang hari sih mungkin tidak masalah, lha ini malam hari? Sudah itu jaraknya jauh lagi.
Bagaimana saya tidak ketar ketir kami diarahkan menjauhi jalan utama dan masuk ke jalanan kampung yang tak beraspal yang gelap. Kondisinya berbatu-batu, sempit dan tak ada satupun mobil lewat situ. Sepanjang perjalanan yang bisa saya lakukan ya mengawasi keadaan jalan sambil berdoa.
Ada lagi kisah yang cukup membuat merinding ketika perjalanan menuju Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Perjalanan tengah malam yang ternyata di depan kami area pemakaman. Dan, baru kami sadari setelah hari menjelang pagi karena kami menginap dengan membuka tenda.
Ketika kami akan ke Air Terjun Jumog, Karanganyar, Google Maps mengarahkan ke jalanan sempit yang melewati rumah-rumah penduduk. Yang ternyata tidak bisa dilalui oleh mobil kami yang besar dan tinggi karena terhalang atap yang rendah.
Meski barang di kabin mobil sudah diturunkan dan rencananya barang dititipkan ke rumah warga, tetap tidak bisa lewat juga karena menyenggol bambu yang menopang atap. Akhirnya, barang dinaikkan lagi ke kabin.
Oleh warga setempat kami diarahkan untuk kembali ke "jalan yang lurus dan benar". "Dari sini belok kiri, nanti ada pertigaan belok kiri, lalu ikuti jalanan itu sejauh 2 kilo, sudah sampai di air terjun," katanya.
Syukurlah halaman rumah warga cukup luas sehingga mobil bisa berputar arah. Entah bagaimana ceritanya jika tidak ada halaman di rumahnya.
Setelah kami ikuti, ya memang ternyata ini jalanan utama menuju air mancur, meski jalanan cukup menanjak dan menurun. Dan, Google Maps mau tidak mau mengikuti arah jalan kami hahaha... Di layar tertulis "mengubah rute" diiringi suara perempuan.
Meski beberapa kali "tersesat", suami tetap mengandalkan Google Maps selama dalam perjalanan. Bagaimana pun teknologi Global Positioning System atau GPS menjadi andalan dalam menemukan suatu tempat.Â
Belajar dari pengalaman "tersesat" suami pun tidak terlalu fokus pada Google Maps. Kami juga sering memperhatikan marka jalan atau sesekali bertanya ke warga. Kalau memungkinkan di situ ada polisi, bisa jadi kami juga akan bertanya kepadanya.
"Tersesat" dalam perjalanan justeru menjadi cerita seru tersendiri buat kami, yang bisa membuat kami tertawa terbahak-bahak. Kisah yang bisa dibagikan kepada saudara yang bertanya keseruan perjalanan kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H