Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Getuk, Jajanan Tradisional dari Generasi ke Generasi

11 Desember 2020   07:46 Diperbarui: 13 Desember 2020   08:23 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi getuk singkong. (sumber: sajiansedap.grid.id)

Selasa (8/12/20) kemarin, saya dijadwalkan rontgen lengan kanan saya di bagian Radiologi RSCM. Tindakan ini dibutuhkan untuk mengetahui sumber nyeri di lengan saya. 

Hasil bone scan menunjukkan di bagian lengan kanan saya tidak ada aktifitas yang mencurigakan, kecuali di area lain. Karena itu, dokter menyarankan saya untuk rontgen. 

Saat menunggu nama saya dipanggil, terdengar seorang ibu menjajakan dagangannya. "Gethuk... Gethuk, Gethuk," katanya sambil mengitari ruang tunggu Radiologi.

Cuaca cukup mendung, angin berhembus sepoi-sepoi, hujan turun dengan deras. Rintiknya seperti butiran kerikil yang menghujani atap. 

Mendengar kata gethuk, seketika saya menghentikan ketikan saya. Sudah lama juga rasanya saya tidak makan gethuk. Ini adalah kudapan yang sering saya makan sedari saya masih kanak-kanak.

Saya pun tertarik untuk membelinya. Kebetulan perut saya mulai lapar. Ada tiga potong gethuk warna krem yang ditaburi kelapa parut dalam kemasan plastik mika. Satu kemasan ini dihargai Rp10.000 saja.

"Saya bikin sendiri ini, Bu," katanya sambil mengeluarkan dagangannya yang lain. Ada dimsum, pastel, dan kacang goreng. Saya pun mengambil gethuk, dimsum, dan 4 bungkus kecil kacang goreng kesukaan saya.

"Oh ya?" Saya tanya bagaimana membuatnya, apakah susah? Katanya sih tidak butuh waktu lama. Bahan utamanya juga mudah didapat. Hanya singkong kukus dan kelapa parut yang dicampur gula, sedikit garam, dan vanila. 

Oh, begitu. Sepertinya saya perlu juga mencoba untuk membuat gethuk sendiri. Saya biasanya paling malas ribet. Tapi bolehlah sesekali saya mengolahnya sendiri. Apalagi bahan-bahannya amat mudah didapat dan harganya pun murah.

Waktu saya kecil, ketika tinggal menumpang di rumah nenek dari pihak ibu saya, nenek saya yang biasa saya panggil umi, sering juga bikin gethuk. Maklum, kakek saya petani yang memiliki lahan yang cukup luas.

Lahannya itu ditanami bermacam tanaman dan pohon. Ada singkong, cabe rawit, lenca, durian, jengkol, cengkeh, rambutan. Sebagian lahannya juga disulap menjadi peternakan ikan air tawar, yang biasanya disebut dengan balong. 

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Saya masih ingat cara mengolahnya karena memang mudah. Singkong dikupas, dicuci, lalu dikukus pakai alat kukus yang terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk segitiga. 

Setelah dikukus, kemudian dihaluskan pakai alat tumbuk yang terbuat dari kayu. Saya menyebutnya lesung. Kalau sudah halus dicampur dengan gula merah yang diparut, diaduk deh hingga merata. 

Adonan dimasukkan ke dalam wadah hingga padat. Kemudian dipotong kecil-kecil memanjang, lalu dipotong persegi empat. Oleh nenek saya, getuk ini lalu ditaburi parutan kelapa yang sudah dicampuri sedikit garam. 

Jadi deh getuk khas orang Sunda ala nenek saya. (Lebih detil bagaimana cara membuatnya seperti bisa ditanya ke mbah Google). Wah, sudah berapa puluh tahun berlalu itu ya?

Siapa yang tak kenal dengan Gethuk. Umumnya, orang lebih mengenal makanan tradisional ini sebagai makanan khas Jawa, khususnya Malang. Makanan dari singkong ini sudah akrab di perut saya sejak saya masih kecil, hingga saya setua ini. Sudah berapa puluh tahun itu?

Ketika anak-anak saya TK saya sering juga membekalinya dengan gethuk lindri yang saya beli dari abang penjual gethuk yang mengitari kompleks rumah saya. Saya memang sengaja agar anak-anak kenal dengan jajanan asli Indonesia. Biar tidak asing.

Dengan gerobak yang didorongnya, aneka gethuk lindri berwarna-warni cukup menarik mata dan perut saya. Ditambah alunan lagu yang mengiringi perjalanan si abang cukup menarik perhatian orang. 

Konon, Getuk adalah makanan yang sering dikonsumsi rakyat jelata saat masa penjajahan Belanda. Saat itu, rakyat Indonesia sangat kesulitan mendapatkan makanan pokok, yakni beras. 

Lalu dicarilah pengganti makanan pokok beras yang kemudian menemukan ketela, yang pada saat itu mudah dan banyak tumbuh di sekitaran rumah.

Nama 'getuk' sendiri diambil dari bunyi 'tuk-tuk' dari kegiatan menumbuk singkong hingga halus. Sementara nama 'lindri' diambil dari proses pembuatan getuk lindri, tepatnya adonan singkong yang digulung kecil dan memanjang.

Melansir dari laman sejarahunik.net, Ali Mohtar, penduduk di desa Karet, Magelang, orang pertama yang mencoba berinovasi membuat makanan lezat berbahan singkong. 

Oleh Ali Mohtar singkong dikukus kemudian dihaluskan bersama gula, terciptalah gethuk. Saat itu, proses penghalusan singkong masih dengan cara manual yakni dengan ditumbuk di lesung.

Pada 1985, Mbah Ali berhasil membuat mesin penghalus singkong yang bisa menghasilkan gethuk dalam jumlah banyak di waktu yang lebih cepat. 

Setelah Mbah Ali meninggal dunia, usaha gethuknya kemudian diteruskan oleh anak-anak serta cucu-cucunya, hingga berkembang dan dikenal masyarakat.

Tidak heran, gethuk adalah makanan yang sangat identik dengan Magelang. Saking identiknya, Magelang sering dijuluki sebagai kota gethuk.

Saya suka makanan ini karena teksturnya yang lembut dan kenyal. Rasanya juga manis, legit, dan khas, ditambah dengan gurihnya parutan kelapa membuat saya tidak bosan memakannya.

Biasanya kalau ada sajian gethuk di antara aneka kue dalam suatu acara, entah itu di hotel atau resto kelas biasa atau mewah, atau di mana saja, saya lebih memilih gethuk. Saya bisa berkali-kali memakannya. 

Kalau makanan itu tersisa hingga acara usai, biasanya saya bawa beberapa, buat saya makan dalam perjalanan pulang atau "oleh-oleh" buat anak-anak di rumah. Biasanya, anak saya sering bertanya, "Bunda bawa apa?"

Warnanya yang bermacam-macam membuat saya tergoda untuk memakannya. Yang pasti gethuk bikin kenyang karena makanan ini mengandung karbohidrat sebagai sumber energi pengganti nasi.

Kandungan karbohidratnya bermanfaat untuk membantu proses pencernaan baik dalam usus besar maupun usus kecil. Selain itu, bermanfaat mengoptimalkan penyerapan kalsium. Jadi, cukup menyehatkan juga.

Sambil menikmati setiap gigitannya, saya menyakini ada pesan moral dari makanan ini. Ada nilai kesederhanaan di sana. Singkong yang harganya murah ternyata bisa memberikan manfaat bagi banyak manusia.

Menurut saya, ada kearifan lokal dalam makanan gethuk yang mengajarkan kita untuk selalu bangga dengan potensi yang kita miliki. Meski terlihat sederhana namun dapat dimanfaatkan dalam berbagai kondisi, dari waktu ke waktu.

Kalau kita menghargai potensi yang kita miliki, orang lain pun akan menghargai potensi kita. Seperti gethuk ini. Jika dulu hanya dijajakan untuk orang-orang pinggiran, kini sudah bisa ditemukan di hotel yang bahkan hotel berbintang lima.

Getuk juga mengajarkan kita arti kesederhanaan dan untuk selalu bersyukur terhadap apapun keterbatasan yang kita hadapi. Bukan begitu?

Di saat saya tengah menikmati setiap gigitan gethuk, anak kecil di depan saya duduk menatap saya. Dia tak berhenti menatap saya. Seolah-olah ingin juga merasakan apa yang saya rasakan.

Saya pun memberikan dua potongan tersisa kepadanya yang diterimanya dengan malu-malu. Meski tak ada lagi gethuk yang bisa saya makan, tapi sensasi kenikmatan di mulut saya, masih bisa saya rasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun