Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi Dana Bansos Covid-19, Layakkah Koruptor Dihukum Mati?

9 Desember 2020   18:05 Diperbarui: 9 Desember 2020   19:02 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada apa dengan Indonesia tercinta? Belum tuntas penanganan Covid-19 Petamburan dengan segala dramanya eh muncul kasus yang amat memalukan seantero negeri ini. Bayangkan, ada dua menteri dicocok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gara-gara kasus korupsi! Apa tidak memalukan dunia?

Yang pertama Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo, ditangkap KPK dalam kasus suap perizinan eskpor benih lobster, di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (25/11/2020) dini hari. Edhy Prabowo diduga menerima aliran dana suap sebesar Rp 3,4 miliar.

Menteri kedua yang dicokok KPK, yaitu Menteri Sosial Juliari Batubara yang tersandung kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial tahun 2020. Menurut saya, ini "lebih parah" lagi.

Bayangkan, apa tidak malu Presiden Joko Widodo? Bagaimana tidak tertampar wajahnya? Menteri yang diusung dari PDI-P itu melakukan tindakan korupsi bantuan sosial buat mereka yang terdampak Covid-19? Apakah sudah mati hati nuraninya?

Kasus suap ini diawali dari adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin. Nilainya tidak tanggung-tanggung mencapai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode.

Perusahaan rekanan yang jadi vendor pengadaan bansos diduga menyuap pejabat Kementerian Sosial lewat skema fee Rp 10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp 300.000.

Mengapa pejabat sekelas menteri harus korupsi? Toh, Juliari Peter Batubara bukan orang miskin. Dari segi materi, menteri berusia 48 tahun ini sebenarnya tidak berkekurangan, bahkan berlebih. Apalagi segala keperluan dan kebutuhannya difasilitasi negara. Ya tentu saja pakai uang rakyat, termasuk uang saya di dalamnya.

Juliari Batubara sendiri sudah melaporkan kekayaannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 30 April 2020 dengan total kekayaan sebesar Rp47 miliar. Tepatnya kekayaan sebesar Rp47.188.658.147. Seluruh kekayaan ini telah diverifikasi pada 19 Mei 2020. Jumlah yang banyak, bukan?

Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Idrus Marham juga ditahan KPK karena tersandung kasus korupsi pada Jumat (31/9/2018). Ia ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau 1. 

Itu berarti, ada dua Menteri Sosial di bawah kepemimpinan Joko Widodo yang melakukan tindakan korupsi.

Lantas mengapa harus korupsi? Yang dikorupsi bantuan untuk orang miskin pula. Ia dilaporkan menerima uang suap sebesar Rp17 miliar. 

Apakah gaji menteri yang "hanya" Rp18 juta sebulan itu menjadi alasannya? Tapi kan itu belum termasuk dana operasional yang mencapai Rp120 juta hingga Rp150 juta per bulannya. Apakah masih kurang? Kalau untuk ukuran saya sih sudah jauh lebih dari cukup itu.

Entah mengapa korupsi masih saja terjadi di negeri ini. Apakah tidak dijadikan pelajaran kasus-kasus sebelumnya yang menjerat pejabat-pejabat lainnya? Apakah hukumannya yang kurang membuat efek jera? Apakah tidak ada rasa malu dalam diri mereka?

Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.

Jadi, menurut saya, korupsi itu bukan soal butuh atau miskin. Ini soal mental, budaya yang melekat dalam dirinya. Banyak orang miskin tapi jalannya lurus-lurus saja kok. Banyak juga orang kaya yang tidak tergoda untuk melakukan hal itu. Tidak terpikirkan sekalipun untuk mengambil hak orang lain.

Mengapa dia tidak begitu?

Bisa jadi karena yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk merugikan negara melalui kelonggaran sistem atau prosedur yang berlaku ditambah sifat tamak yang ada di dirinya. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri yang biasanya datang dari dorongan diri sendiri atau pasangannya atau keluarganya. 

Orang semacam itu bisa jadi juga memiliki moral yang kurang kuat sehingga mudah tergoda untuk melakukan korupsi yang biasanya terpengaruh pihak lain. Dan, parahnya, selalu melakukan pembenaran atas perbuatannya itu. 

Atau mungkin juga untuk memenuhi gaya hidup yang konsumtif. Tapi ini seharusnya tidak perlu terjadi mengingat dia pejabat publik yang segala tindak tanduknya diawasi. Lagi pula kan dia juga sudah punya segala macam harta benda. Buat apa beli barang-barang mahal dan mewah lagi?

Selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan, menurut saya, korupsi akan terus berlangsung. Jika ini semakin banyak dipahami orang, maka semakin besar pula kemungkinan orang melakukan kesalahan dalam mendapatkan kekayaan.

Jadi, saya sangat setuju jika koruptor dihukum mati seperti yang kembali disuarakan banyak pihak. Apalagi kasus korupsi yang menjeratnya berkaitan dengan orang miskin. 

Sakit hati saya. Di saat banyak orang yang terpuruk karena Covid-19, tidak sedikit yang depresi, bahkan ada yang sampai bunuh diri,  mati karena pandemi, banyak pegawai yang kehilangan pekerjaan, eh ada menteri yang menilap uang negara. Ya ampun, menterinya menteri sosial yang berurusan dengan orang miskin lagi! Ke mana logikanya?

Terlebih Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengancam menindak tegas pelaku korupsi anggaran penanganan bencana Covid-19 dengan tuntutan hukuman mati. Iyalah, ini mah sudah keterlaluan banget, menurut saya, wajar diberi hukuman setimpal.

"Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati," kata Firli dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI, Rabu, 29 April 2020. (Tempo.co, Senin, 7 Desember 2020).

Hukuman mati ini sangat memungkinkan untuk diterapkan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga sudah mencantumkan hukuman mati. Di Ayat 2 Pasal 2 UU ini disebutkan "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Ya sudah diterapkan saja, tunggu apa lagi? Greget saya. Biar yang lain sadar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan negara. Hukuman mati itu layak diberikan, karena dilakukan saat pandemi dan resesi. Terlebih peringatan untuk tidak korupsi berulang kali ditegaskan Presiden Joko Widodo dan pimpinan KPK.

Ok, KPK lanjutkan terus perjuanganmu untuk membebaskan Indonesia dari jeratan para koruptur.

*Sekedar menyampaikan keluh kesah di batas senja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun