Dari kemarin hujan mengguyur kompleks perumahan saya. Pagi ini cuaca masih terlihat mendung. Tak terlihat sinar mentari menyapa bumi. Yang terdengar dentingan rintik hujan di atap rumah saya.
Hujan, dingin, lapar. Pagi lagi. Kloplah itu. Butuh kehangatan. Kalau sarapannya bubur, enak nih. Pasti hangat dan segar. Jadilah saya beranjak ke dapur seusai membangunkan anak-anak shalat subuh.
Saya lihat di meja makan ada tumis cumi dan tumis udang sisa kemarin. Nasi juga tinggal sepiring. Kalau begitu, saya bikin bubur seafood saja deh. Pasti anak-anak  suka. Terlebih udang dan cumi kesukaan anak-anak.
Saya lalu merebus nasi. Cumi dan udang saya cuci. Sambil memunggu nasi lembut, saya pun membuat bumbu. Dua siung bawang merah, dua siung bawang putih, 2 buah cabe merah, 3 buah cabe rawit setan, tomat, satu ruas jahe, satu ruas lengkuas, terasi.
Semuanya digoreng dengan sedikit minyak. Setelah agak layu baru saya ulek sampai halus. Kasih sedikit garam, sedikit gula, dan penyedap rasa.
Saya masukkan cumi dan udang yang sudah saya potong kecil-kecil ke dalam rebusan nasi yang sudah hancur. Lalu, saya masukkan satu butir telur, aduk-aduk. Kemudian saya tuangkan bumbu yang sudah diulek tadi. Aduk-aduk deh.
Tak perlu menunggu lama, jadi deh bubur seafood ala chef Bunda Tety. Saya cicipi sih enak. Bumbu-bumbunya terasa banget di lidah saya. Aroma rempah-rempahnya menyegarkan saluran pernapasan saya.
Ini kalau dicicipi oleh Chef Juna, Chef Maringka, dan Chef Arnold, saya yakin pasti dikasih "yes" dalam kompetisi Master Chef Indonesia hahaha...
"Kak, mau makan bubur nggak?" tanya saya pada anak kedua saya, Annajmutsaqib, yang dijawab mau.
"Nih cobain, bubur seafood isi cumi, udang, telur. Enak deh," kata saya. Ah anak saya mah mana pernah bilang tidak enak untuk masakan yang saya bikin. Pasti selalu bilang enak.
Alhamdulillah..., perut saya tidak kelaparan lagi, tidak seberisik tadi.
***
Sejatinya, dalam kamus hidup saya tidak ada istilah makanan tidak dihabiskan. Harus habis. "Haram" bagi saya membuang makanan selama makanan masih enak dimakan.
Saya selalu menekankan kepada anak-anak untuk menghabiskan makanannya. Baik di rumah atau ketika menghadiri pesta atau di mana saja. Karena itu, saya menganjurkan anak-anak makan dalam porsi sedikit dulu. Kalau masih lapar dan ingin menambah ya kan tinggal ambil saja.
Kepada anak-anak, saya ingatkan di luaran sana banyak orang susah, yang buat makan saja susah. Harus mengamen, mengemis, bahkan sampai ada yang mengais-ngais makanan di tempat sampah. Anak-anak kecil saja harus "bekerja" dulu untuk sesuap nasi.
"Kakak harus bersyukur masih bisa hidup nyaman, enak, gizi terpenuhi, orangtua yang menyayangi," kata saya.
Saya juga selalu menekankan kepada mbak untuk masak dalam porsi cukup, jangan berlebih. Kecuali kalau dalam kondisi tertentu. Maksud saya biar bisa sekaligus habis. Jadi, tidak perlu dihangat-hangatkan lagi.
Biasanya, kalau ada makanan sisa semalam, paginya saya olah menjadi makanan lain. Tergantung jenis makanannya. Misalnya ayam goreng, saya jadikan bahan nasi goreng, atau saya olah menjadi tongseng kegemaran anak-anak saya.
Atau ada tempe dan tahu sisa semalam, saya olah menjadi tumis tempe dan tahu dicampur pete. Pokoknya kreatifnya sayalah. Dan, syukurlah anak-anak suka.
Dengan mengolah sisa makanan ini saya pun turut berkontribusi menjaga lingkungan. Karena ternyata, menurut FAO, dampak food waste terhadap lingkungan juga tidak kalah buruk. Â Bayangkan, sampah makanan ini menyumbang 10% dari gas emisi yang dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.
FAO mendefinisikan limbah makanan sisa (food waste) sebagai makanan yang layak untuk dikonsumsi, namun tidak dimakan karena dibiarkan hingga basi, atau dibuang oleh konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H