***
Sejatinya, dalam kamus hidup saya tidak ada istilah makanan tidak dihabiskan. Harus habis. "Haram" bagi saya membuang makanan selama makanan masih enak dimakan.
Saya selalu menekankan kepada anak-anak untuk menghabiskan makanannya. Baik di rumah atau ketika menghadiri pesta atau di mana saja. Karena itu, saya menganjurkan anak-anak makan dalam porsi sedikit dulu. Kalau masih lapar dan ingin menambah ya kan tinggal ambil saja.
Kepada anak-anak, saya ingatkan di luaran sana banyak orang susah, yang buat makan saja susah. Harus mengamen, mengemis, bahkan sampai ada yang mengais-ngais makanan di tempat sampah. Anak-anak kecil saja harus "bekerja" dulu untuk sesuap nasi.
"Kakak harus bersyukur masih bisa hidup nyaman, enak, gizi terpenuhi, orangtua yang menyayangi," kata saya.
Saya juga selalu menekankan kepada mbak untuk masak dalam porsi cukup, jangan berlebih. Kecuali kalau dalam kondisi tertentu. Maksud saya biar bisa sekaligus habis. Jadi, tidak perlu dihangat-hangatkan lagi.
Biasanya, kalau ada makanan sisa semalam, paginya saya olah menjadi makanan lain. Tergantung jenis makanannya. Misalnya ayam goreng, saya jadikan bahan nasi goreng, atau saya olah menjadi tongseng kegemaran anak-anak saya.
Atau ada tempe dan tahu sisa semalam, saya olah menjadi tumis tempe dan tahu dicampur pete. Pokoknya kreatifnya sayalah. Dan, syukurlah anak-anak suka.
Dengan mengolah sisa makanan ini saya pun turut berkontribusi menjaga lingkungan. Karena ternyata, menurut FAO, dampak food waste terhadap lingkungan juga tidak kalah buruk. Â Bayangkan, sampah makanan ini menyumbang 10% dari gas emisi yang dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.
FAO mendefinisikan limbah makanan sisa (food waste) sebagai makanan yang layak untuk dikonsumsi, namun tidak dimakan karena dibiarkan hingga basi, atau dibuang oleh konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H