Saya mencoba memberi rangsangan dengan mengingat pengalama apa yang didapatkan saat belajar di sekolah. Atau hal-hal apa saja yang dia sukai.
"Jangan terburu-buru," kata saya. Untuk mempermudah anak saya menuangkan isi pikirannya ke dalam tulisan, saya mengajaknya berdialog. Dengan cara ini, anak saya akan dapat mengumpulkan kosakata menurut imajinasinya.
Dalam menulis puisi sederhana saya tidak perlu meminta anak bermain dengan kata-kata konotatif yang sulit. Membentuk frasa sederhana dan kalimat yang relatif mudah dipahami itu sudah cukup.
Saya ingin anak saya dapat mengenali dan menjadi dirinya sendiri. Setelah itu, barulah anak dapat mengekspresikan inspirasinya. Nanti juga akan berkembang dengan sendiri seiring bertambahnya usia.
Bagi saya, puisi tidak hanya penting untuk diajarkan sebagai karya seni, tetapi juga merangsang anak untuk berlatih menulis dan membaca.
Muluknya saya, puisi bisa menjadi pintu gerbang anak saya memasuki ke bentuk penulisan lainnya, seperti cerpen atau tulisan lainnya.
Agak lama juga untuk menghasilkan puisi pendek. Sepertinya anak saya kesulitan dalam mengembangkan ide-idenya.Â
![Anak saya menulis puisi (Dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/27/puisii-5fbffe7ed541df4d6903cf72.jpg?t=o&v=555)
Bagi anak seusia ini memang butuh kesabaran untuk menghasilkan karya indah puisi. Dan, saya tidak bisa mempush harus bagus.
"Segini aja ya bun, aku cape nih nulisnya," katanya. Saya pun tidak bisa memaksanya. Ia mau menulis puisi saja sudah bagus.
Saya lantas memintanya memindahkan ke kertas baru dengan spidol warna warni. Selain biar lebih menarik, guru juga jadi mudah membacanya mengingat dikirimnya dalam bentuk foto.