Kalau pun akhirnya saya tetap diperbolehkan kerja, sebisa mungkin jam 5 sore saya sudah harus ada di rumah, dan semua sudah dalam keadaan rapi. Jadi bisa-bisanya sayalah mengatur waktu, begitu katanya.
Mendapat aturan seperti ini jelas saya mendebatnya. Saya katakan jika saya nanti tetap bekerja itu dalam rangka membantu suami. Pertimbangan saya, sebagai sesama pekerja lapangan, kalau mengandalkan gaji seorang jelas tidak akan mencukupi.
Saya katakan bekerja buat saya bukan untuk menyaingi suami tapi ingin lebih membantu dan meringankan beban suami. Saya juga ingin lebih mengeksplor potensi saya dan menerapkan ilmu yang saya dapatkan.
Lagi pula, ibu saya berpesan untuk tidak berhenti bekerja ketika sudah menikah. Ya buat jaga-jaga saja kalau ternyata di tengah jalan suami kehilangan pekerjaan atau ketika butuh sesuatu saya tidak perlu "menodong" suami.
Misalnya ketika orangtua atau saudara atau kerabat saya ada yang sakit atau butuh bantuan saya, saya jadi tidak perlu minta uang ke suami jika saya ingin membantu. Iya kalau dapat suami yang baik, kalau suaminya ternyata pelit? Iya kalau suami kaya tapi pelit, bagaimana? Begitu kata ibu saya.
Terkait saya harus sampai di rumah jam 5 sore, sebelum dia sampai di rumah, saya jelaskan tidak bisa dipastikan bisa sampai jam segitu. Sebagai sesama pekerja lapangan, kan dia tahu kondisi di "lapangan" bagaimana. Iya kalau dalam perjalanan tidak ada kemacetan, kalau macet?
Tapi penjelasan saya ini sepertinya tidak mendapatkan respon positif darinya. Karena saya tidak mau ribut dan tidak mau berdebat, persoalan ini disimpan dulu, nanti dibicarakan lagi.
"Aturan" lainnya, saya hanya boleh berkawan dengan teman-teman saya atas ijinnya. Boleh berkawan dengan A, tapi jangan dengan B, misalnya. Boleh berteman tapi jangan terlalu dekat. Pernah saya melanggar dan dia marah dengan mendiamkan saya.
Pernah juga saya bertengkar dengan adik saya gara-gara pas di waktu bersamaan adik saya ingin pinjam kamera untuk tugas kuliahnya, sementara dia ada order pemotretan. Dilema kan? Kebetulan, dia, saya, dan adik saya ini satu kampus dengan jurusan yang sama.
Kamera saya kasih ke adik saya, dia marah dengan alasan lebih mementingkan adik saya. Saya kasih ke dia, adik saya marah dengan alasan saya lebih mementingkan dia daripada adiknya sendiri. Jadi, agar win-win solution, kamera saya kasih ke adik saya, buat dia saya pinjam ke yang lain.
Meski saya dan kawan-kawan saya merasa hubungan yang terjalin ini tidak sehat, tetap saja saya jalani hingga bertahun-tahun lamanya. Ya karena cinta yang membuat saya bertahan. Hingga akhirnya saya merasa saya tidak kuat.