Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

6 Tahun Jalani "Toxic Relationship", Begini Kisah Saya

22 November 2020   07:56 Diperbarui: 28 April 2021   23:05 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toxic relationship (kompas.com)


Jaman dulu kala, ketika saya masih kuliah, saya menjalin hubungan dengan teman seangkatan dan sejurusan. Ini pertama kalinya saya mengenal cinta, dan ini pertama kalinya juga saya menjalin hubungan dengan seorang pria.

Banyak teman yang tidak menyetujui hubungan saya dengannya. Terutama kawan-kawan saya yang berjilbab. Saya yang berjilbab tidak pantas menjalin hubungan "terlarang". Tidak ada kamus "pacaran" dalam Islam.

Sementara kawan-kawan perempuan saya yang lain ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju. Penyebabnya karena dia berambut gondrong, perokok berat. Di mata kawan-kawan saya "tidak sholeh" sehingga dinilai tidak pantas buat saya.

Tapi yang namanya cinta, ya saya anggap angin lalu saja. Entah sudah berapa kali saya "disidang" diminta untuk mengakhiri hubungan saya dengannya. Tapi ya berlalu begitu saja. Mirip pepatah "anjing menggonggong kafilah berlalu" atau kata pepatah "tai kambing rasa cokelat".

Saya juga tidak tahu mengapa saya bisa  punya rasa padanya. Entahlah. Cinta datang begitu saja dan saya tidak kuasa membohongi perasaan saya sendiri. Tapi dalam pemikiran saya, suatu ketika pasti dia akan berubah ke arah yang "lebih baik". Lebih rapi dan tidak gondrong lagi.

Singkat cerita, hubungan ini saya rasakan lama-lama "tidak sehat" ketika dia sudah menerapkan beberapa "aturan". Seperti kalau sudah sore tidak boleh ke kantor atau kalau hari libur saya dilarang ke kantor atau menghadiri agenda pekerjaan. Jadi, dia selalu mengecek saya. Misalnya dengan menelepon ke kantor saya.

Pernah suatu ketika dia memarahi saya karena saya mau ke kantor sore. Ya wajar saja kan saya ke kantor sore karena siangnya saya kuliah. "Pulang nggak loe, nggak usah ke kantor. Sore-sore begini. Loe mau pulang jam berapa? Loe kan orangnya bego," katanya.

Dibilang bego, jelas saya marah. Ia pun meminta maaf kelepasan mengeluarkan kata yang menyinggung perasaan saya. Karena saya masih kesal, saya tetap ngotot mau ke kantor, meski akhirnya dia mengijinkan. Mungkin untuk menutupi rasa bersalahnya.

Ya, saat itu, kebetulan saya sudah bekerja, pekerjaan yang saya geluti hingga sekarang. Sebagai pekerja lapangan tentu saja jam kerjanya tidak tentu. Tergantung agenda kegiatan yang ditugaskan kantor. Kadang agendanya pagi, siang, sore, atau malam.

Sebagai "pendatang baru" jelas saya tidak bisa main membantah. Saya juga harus menunjukkan sikap profesionalitas dan loyalitas saya. Terlebih saya juga enjoy melakukannya. Pekerjaan ini sesuai dengan passion saya. Jadi tidak bisa juga dong saya menolak begitu penugasan yang diberikan.

"Aturan" lainnya, nanti ketika saya dan dia menikah, dia menginginkan saya jadi ibu rumah tangga saja, yang fokus mengurus rumah, suami, dan anak-anak kelak. Karena dalam pandangannya, tugas istri ya mengurus rumah tangga. Hmmm... permintaan yang cukup berat buat saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun