Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Disiplin Diri, Bukan Denda, Kunci Putuskan Rantai Penyebaran Covid-19

17 November 2020   08:16 Diperbarui: 17 November 2020   08:27 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab diberitakan dikenai denda Rp50 juta karena melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 yang dimaksud terjadi pada perhelatan acara Maulid Nabi yang berbarengan dengan pernikahan putri Rizieq Shihab, Sabtu (14/11/2020). 

Acara FPI dan Rizieq dianggap telah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 799 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.

Harusnya, kalau mau adil, Rizieq Shibab, khususnya FPI juga dikenai denda yang sama saat massa pendukungnya menjemput Rizieq Shihab di bandara Soekarno Hatta, Banten. Dari foto-foto dan video-video yang saya lihat, jumlah kerumunan massa sungguh mencengangkan dan membelalakkan mata saya (bisa jadi masyarakat lainnya juga seperti saya). Tidak ada jarak dan masker yang tidak dipakai secara baik dan benar, bahkan ada yang tidak pakai masker. Sesuatu kondisi yang sangat disukai Covid-19.

Lantas apakah dengan membayar denda persoalan langsung selesai begitu saja? Apakah membayar denda menjadi solusi atas ketidakdisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan Covid-19? Bukankah solusi yang tepat agar terbebas dari cengkraman virus Corona adalah dengan disiplin diri? Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun di air mengalir atau handsanitizer.

Dalam webinar Kesehatan dengan tema "Perkembangan Terbaru Covid-19 dan Penanganannya di Indonesia", Jumat (13/11/2020) yang diadakan Departemen Kesehatan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP-KKSS) bekerjasama dengan Pinisi.co.id, staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dr. Arif Santoso, Sp.P. (K), Ph.D., FAPSR, menegaskan, semua orang harus mengambil peranan untuk memutus mata rantai penularan virus korona dengan berpartisipasi melaksanakan 3 M -- memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun di air mengalir atau pakai hand sanitizer.

Perilaku 3M ini diyakini mampu memutus rantai pemyebaran dan penularan Covid-19. Ini adalah vaksin alamiah terbaik selama vaksin Covid-19 belum ada. Sayangnya, kampanye 3M yang di awal-awal sangat baik, kini belakangan masayakat mulai abai dan lalai. 

"Harusnya, sambil menunggu adanya vaksin, masyarakat wajib mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Meski akhirnya vaksin sudah ditemukan tapi virus sudah bermutasi. Jadi, nanti kalau sudah ditemukan vaksinnya, dan bisa didistribusikan, perilaku 3M harus tetap dijalankan," tegasnya.

Webinar ini sendiri diadakan mengingat setelah 8 bulan pandemi Covid-19 menerjang Indonesia, namun belum ada tanda-tanda berakhir. Trennya malah mengkhawatirkan. Data Jumat (13/11/20) saja, Indonesia mencatat rekor tertinggi penambahan harian kasus positif Covid-19, yaitu 5.444 kasus. Total kasus Covid-19 mencapai 457.735.

Saya jadi heran, mengapa masyarakat kita tidak bisa mendisiplinkan diri untuk sesuatu kebaikan bersama. Bukankah kita sama-sama paham, jika sesuatu kegiatan atau keputusan itu lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya, maka tinggalkanlah.  Seperti yang disampaikan dari Ab Sa'd Sa'd bin Mlik bin Sinn al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasullulah SAW bersabda, "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain". 

Sebagai seorang tokoh yang jumlah pengikutnya begitu banyak, seyogyanya ia harus mampu menyerukan kepada mereka untuk disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Kalau seruannya ini diyakini tetap tidak akan mampu membendung munculnya keramaian, seharusnya sebagai pemimpin ia bisa mengalihkan kegiatan secara online. Toh yang penting esensi dari kegiatan itu bisa meresap di hati para pengikutnya.

Okelah Rizieq Shihab membayar denda, tapi apakah ada jaminan kerumunan massa itu terbebas dari ancaman penularan Covid-19? Terbayang tidak, jika satu orang yang positif lalu menulari ke yang lain, yang lain menulari ke yang lain, dan yang lainnya menulari lagi ke yang lain. Ini seperti lingkaran setan yang tidak ada ujungnya. Karena tidak ada ujungnya, maka titik penularan sulit untuk dilacak.

Sampai hari ini, saya belum menemukan satu berita pun mengenai tracking yang dilakukan petugas kesehatan paska kegiatan  kerumunan massa HRS. Baik itu rapid test maupun swab. 

Yang saya temukan malah berita pencopotan Irjen Nana Sudjana sebagai Kapolda Metro Jaya dan Irjen Rudy Sufahriadi sebagai Kapolda Jawa Barat menyusul aksi kerumunan dalam rangkaian kegiatan HRS. Kedua kapolda ini dinilai tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan. 

Mengapa belum ada tracking karena Sudinkes Jakarta Pusat tidak akan melakukan screening melalui rapid test massal di wilayah Petamburan, kecuali ada laporan atau kecurigaan penularan Covid-19.
Puskesmas juga baru akan bergerak jika ada warga Petamburan yang melapor mengalami gejala Covid-19. (Kompas.com, 11/11/2020)

Kalau begini, berarti orang-orang ini berpotensi menjadi "sumber" penularan ke cakupan yang lebih luas. Apalagi, massa ini berasal dari berbagai wilayah. Massa pendukung Rizieq memenuhi Jalan KS Tubun, Petamburan. Mereka saling dorong dan berdesak-desakan. Sebagian dari mereka juga tidak mengenakan masker. Sampai sini, saya jadi ngeri sendiri membayangkan jika terjadi "bom waktu" Covid-19. 

Saya menilai, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajaran Pemprov DKI Jakarta sudah lalai membiarkan hal ini terjadi. Dan, karenanya, menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas munculnya polemik ini yang tidak mampu secara tegas menegakkan aturan PSBB terhadap Rizieq Shihab.

Sebagai pemimpin nomor satu di wilayah DKI Jakarta, Anies sebagai orang yang cerdas seharusnya sudah bisa membaca dan menduga situasi kerumuman akan terjadi. Karena itu, Anies seharusnya dengan tegas menolak memberikan izin atas kegiatan tersebut.

Setidaknya dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, HRS banyak dirindukan massanya setelah 3 tahun mengasingkan diri di negeri orang. Kedua, HRS pimpinan ormas yang memiliki pengikut yang banyak dan solid. Ketiga, kegiatan maulid dan pernikahan sudah patut diduga akan memunculkan keramaian, terlebih yang punya hajat HRS, si tokoh sentral.

Harusnya, Anies bisa mencegah kerumunan massa sejak hari pertama Rizieq tiba di Indonesia hingga ia menggelar berbagai acara di kediaman sekaligus markas besar FPI. Tapi nyatanya apa? Anies seolah-olah membiarkan kegiatan itu terjadi tanpa ada invertensi, seperti membiarkan "anak kehilangan induknya". 

Ini sama saja Anies pilih kasih. Tidak maksimal menerapkan peraturan yang dibuatnya sendiri. Kan kasihan masyarakat lain yang sampai harus menunda hajatannya demi mematuhi peraturan tersebut. 

Ketika masyarakat bawah melakukan hajatan yang memunculkan kerumunan petugas seketika membubarkan, lha kenapa ini didiamkan? 

Belum lagi masyarakat yang membuka warung lalu ditutup terus mejanya diobrak-abrik oleh satpol PP karena dianggap melanggar peraturan. Jadi letak keadilannya di mana? Apa karena tidak punya nyali? 

Menurut saya, PSBB dapat berjalan efektif jika didukung oleh kedisiplinan masyarakat. Sayangnya, tingkat kedisplinan masyarakat Indonesia dalam merespon pandemi virus corona. Lihat saja dalam aksi kerumunan yang melibatkan massa banyak, jangan harap mereka bisa disiplin. Pakai masker saja hanya sekedar aksesoris, dipakai dengan tidak secara baik dan benar. Begitu juga orang-orang di jalan.

Jadi, PSBB ini harus disikapi serius oleh semua pihak. Terlebih angka kasus positif Covid-19 masih terus meningkat, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Sanksi besar tidak akan efektif menekan penyebaran Covid-19, jika tidak dibarengi dengan kedisiplinan kita dan masyarakat lainnya. Yang harus dilakukan semua pihak adalah membangun kesadaran kolektif warga terhadap penerapan secara ketat protokol kesehatan.

Pandemi Covid-19 adalah urusan nyawa banyak orang. Karenanya, perlu ketegasan bersama untuk menjaga situasi ini. 

Bukan begitu?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun