Sampai hari ini, saya belum menemukan satu berita pun mengenai tracking yang dilakukan petugas kesehatan paska kegiatan  kerumunan massa HRS. Baik itu rapid test maupun swab.Â
Yang saya temukan malah berita pencopotan Irjen Nana Sudjana sebagai Kapolda Metro Jaya dan Irjen Rudy Sufahriadi sebagai Kapolda Jawa Barat menyusul aksi kerumunan dalam rangkaian kegiatan HRS. Kedua kapolda ini dinilai tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan.Â
Mengapa belum ada tracking karena Sudinkes Jakarta Pusat tidak akan melakukan screening melalui rapid test massal di wilayah Petamburan, kecuali ada laporan atau kecurigaan penularan Covid-19.
Puskesmas juga baru akan bergerak jika ada warga Petamburan yang melapor mengalami gejala Covid-19. (Kompas.com, 11/11/2020)
Kalau begini, berarti orang-orang ini berpotensi menjadi "sumber" penularan ke cakupan yang lebih luas. Apalagi, massa ini berasal dari berbagai wilayah. Massa pendukung Rizieq memenuhi Jalan KS Tubun, Petamburan. Mereka saling dorong dan berdesak-desakan. Sebagian dari mereka juga tidak mengenakan masker. Sampai sini, saya jadi ngeri sendiri membayangkan jika terjadi "bom waktu" Covid-19.Â
Saya menilai, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajaran Pemprov DKI Jakarta sudah lalai membiarkan hal ini terjadi. Dan, karenanya, menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas munculnya polemik ini yang tidak mampu secara tegas menegakkan aturan PSBB terhadap Rizieq Shihab.
Sebagai pemimpin nomor satu di wilayah DKI Jakarta, Anies sebagai orang yang cerdas seharusnya sudah bisa membaca dan menduga situasi kerumuman akan terjadi. Karena itu, Anies seharusnya dengan tegas menolak memberikan izin atas kegiatan tersebut.
Setidaknya dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, HRS banyak dirindukan massanya setelah 3 tahun mengasingkan diri di negeri orang. Kedua, HRS pimpinan ormas yang memiliki pengikut yang banyak dan solid. Ketiga, kegiatan maulid dan pernikahan sudah patut diduga akan memunculkan keramaian, terlebih yang punya hajat HRS, si tokoh sentral.
Harusnya, Anies bisa mencegah kerumunan massa sejak hari pertama Rizieq tiba di Indonesia hingga ia menggelar berbagai acara di kediaman sekaligus markas besar FPI. Tapi nyatanya apa? Anies seolah-olah membiarkan kegiatan itu terjadi tanpa ada invertensi, seperti membiarkan "anak kehilangan induknya".Â
Ini sama saja Anies pilih kasih. Tidak maksimal menerapkan peraturan yang dibuatnya sendiri. Kan kasihan masyarakat lain yang sampai harus menunda hajatannya demi mematuhi peraturan tersebut.Â
Ketika masyarakat bawah melakukan hajatan yang memunculkan kerumunan petugas seketika membubarkan, lha kenapa ini didiamkan?Â
Belum lagi masyarakat yang membuka warung lalu ditutup terus mejanya diobrak-abrik oleh satpol PP karena dianggap melanggar peraturan. Jadi letak keadilannya di mana? Apa karena tidak punya nyali?Â