Itu foto ketika saya makan siang di gerbong restoran kereta eksekutif Taksaka. Ini perjalanan saya bersama Kementerian Koperasi dan UKM pada 13 Juli 2019 usai menghadiri kegiatan Hari Koperasi Nasional di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Saya sengaja makan di gerbong restorasi atau kereta restorasi atau kereta makan karena seingat saya belum pernah makan di sini. Lebih seringnya ya makan di tempat duduk sambil melihat pemandangan dari jendela. Selain itu, beberapa kawan saya juga memilih makan di sini. Namanya kereta, ya ruangan terasa sempit buat saya.
Menu yang saya pilih "Nasi Goreng Bakso". Sebagaimana namanya ya nasi goreng yang isinya bakso, bakso balado, plus sedikit acar dan sambal.Â
Seingat saya, karena tidak ada daftar harga untuk menu-menu makanan, jadi saya pun bertanya kepada pramugari dan pramugara kereta di meja khusus (apa ya namanya?). Di sini, tempat memesan dan membayar. Sepenglihatan saya di belakangnya ada ruangan untuk menyimpan makanan.
Kalau tidak salah ingat harganya sekitar Rp35.000. Untuk soal rasa sih, biasa-biasa saja. Lebih enak nasi goreng buatan saya deh hahaha...Â
Harga ini menurut saya standar ya. Masih terjangkau. Kalau membandingkan dengan nasi goreng keliling yang biasa lewat di kompleks rumah saya, ya memang lebih murah. Seporsinya sekitar Rp10.000 sampai Rp15.000 tergantung permintaan.Â
Meski makanan saya ini dibayarkan oleh staf humas Kementerian Koperasi dan UKM, tapi saya menilai harga itu relatif tidak mahal. Setimpallah. Terlebih kereta yang saya tumpangi kelas eksekutif.Â
Meski makannya di gerbong kereta, tapi saya tidak merasakan guncangan. Kereta melaju dengan lembut tanpa ada hentakan yang terasa kasar. Sambungan antar gerbong juga tertutup, jadi amanlah. Saya menikmati makanan ini sambil memandang ke luar.
Perjalanan jauh dengan menggunakan kereta api adalah perjalanan yang mengasyikkan buat saya. Meski membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama, ada hal-hal menarik yang selalu saya dapatkan.
Termasuk salah satunya makan di gerbong restorasi ini. Kalau kata saya "restorannya" kereta. Bentuknya ya sama dengan gerbong penumpang. Bedanya, di sini ada beberapa  meja makan berikut tempat duduknya yang saling berhadapan. Mirip di kafe-kafe.
Sebenarnya ini bukan barang baru atau hal yang aneh dalam dunia perkeretaapian. Tapi menjadi pengalaman baru buat saya. Gerbong ini biasanya ada di tengah-tengah rangkaian, agar penumpang yang berada di gerbong depan dan belakang mampu menjangkaunya.Â
Cuma yang tidak enaknya, tidak bisa santai lebih lama saja, terlebih jika penumpang yang ingin makan di restorasi juga cukup banyak. Jadi, saya sebagai penumpang harus tahu diri.Â
Di gerbong restorasi juga menyediakan aneka minuman dan camilan. Mulai minuman ringan, air mineral, teh hangat, hingga kopi. Selain menu makanan "berat tapi ringan" tentunya. Penumpang tinggal memilih.Â
Meski "sempit", gerbong restorasi bisa dibilang cukup nyaman, terlebih makan dengan view pemandangan yang selalu berubah-ubah. Pas buat penumpang yang tengah ingin menyendiri dan menyepi.Â
Kalau soalnya interior kereta eksekutif cukup nyaman juga. Kursi yang bisa diputar saling berhadapan dan dimundurkan ke belakang. Di setiap kursi juga disediakan bantal kecil. Bila naik Taksaka malam, juga disediakan selimut.
Di setiap kursi di sediakan 2 buah colokan. Jadi, tidak perlu khawatir jika kehabisan baterai hp atau laptop. Di kursi juga ada meja lipatnya buat makan atau buat buka laptop.
***Â
Saya berlari-lari memasuki kereta Argo Parahiyangan yang sebentar lagi akan meninggalkan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Pada 14 Agustus 2019 itu saya diajak untuk mengikuti agenda kegiatan Direktur Utama LPDB KUMKM di Bandung, Jawa Barat.
Relasi saya dari Lembaga Penyalur Dana Bergulir (LPDB) KUMKM Kementerian Koperasi dan UKM berulangkali menanyakan posisi saya.Â
"Mbak di mana?" tanyanya lewat pesan WhatsApp, yang ternyata ada beberapa kali panggilan tidak terjawab darinya.
"Sebentar lagi, ini mau masuk Stasiun Gondangdia," balas saya. Biasanya, dari sini saya berjalan kaki ke Stasiun Gambir, karena terdesak waktu saya pun naik ojek online.
Saya pun berlari-lari menyusuri koridor, memprint tiket, memberikan ke petugas pemeriksaan, lalu menaiki tangga, kemudian naik eskalator. Saya serasa habis ikut lomba lari.
Berlari-lari membuat saya begitu lapar. Sampai perut saya berteriak-teriak. Jadi, ketika petugas bagian restorasi lewat menjajakan makanan, dan setelah saya bertanya menunya apa saja, saya pun mengambil "Ayam Goreng Sambal Goang".Â
Saya sengaja memilih yang ini karena penasaran apakah sambal goangnya sama dengan sambal goang yang sering saya bikin?Â
Sambal goang adalah sambal khas orang Sunda, yang isinya cabe rawit dan tomat mentah yang diulek kasar, lalu diberi penyedap rasa. Akan semakin nikmat jika makannya pakai ikan asin dan lalapan.
Kalau daging ayam saya tidak terlalu suka. Saya sih inginnya yang berkuah-kuah semisal sop buntut atau sop iga. Pokoknya makanan berkuah yang menyegarkan. Sayangnya, di kereta tidak menyediakan menu yang saya inginkan.
Setelah saya buka, oh begini rupa menunya? Sambalnya berminyak, berarti sambal ini melalui proses digoreng. Kalau versi saya, cabe rawit plus tomat yang serba mentah, jadi tidak berminyak.
Tapi setelah saya coba enak juga. Cuma kurang banyak saja porsinya dan kurang pedas hahaha... soalnya saya penggemar sambal.Â
Saya pun mencoba mencicip ayam gorengnya. Potongan ayamnya tidak terlalu besar. Enak juga. Bumbunya meresap hingga ke daging-dagingnya. Segigit, segigit eh lama-lama habis. Yang tersisa tinggal tulang-tulangnya.Â
Lha saya kan tidak suka daging ayam tapi habis juga ternyata. Daging ayamnya yang enak plus rasa lapar, membuat lidah saya lupa diri hahaha...
Alhamdulillah...kenyang. Perut saya tidak lagi merintih. Dan, yang lebih membahagiakan lagi tentu saja bukan saya yang membayar. Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?
Meski kali ini saya makannya di kursi penumpang, bukan di restorasi, saya tetap bisa sambil menikmati pemandangan dari balik jendela.Â
Relasi saya sudah paham kalau mengajak saya, entah naik kereta atau pesawat, saya dipesankan tiket dengan seat dekat jendela. Maksudnya sih biar saya bisa melihat pemandangan di luar sana. Ya saya sih happy-happy saja.
Bagaimana dengan harganya? Seingat saya sih sekitar Rp35.000. Dibilang mahal tidak, dibilang murah juga tidak. Terjangkaulah. Harganya juga sebanding. Apalagi kereta yang saya naiki kelas eksekutif. Ini bukan karena mentang-mentang saya dibayari. Kalau bayar sendiri pun saya akan bilang begitu juga kok (nyengir)
***
Ini saat saya "makan siang" di warung yang tidak begitu jauh dari Stasiun Tasimalaya, Jawa Barat, pada 13 November 2019. Sambil menunggu jadwal keberangkatan, Mbak Melinda, staf humas Kementerian Koperasi dan UKM mengajak saya makan.Â
Tempatnya enak, suasana rumah yang didesain jaman old. Semua serba jadul. Lemari, televisi, hiasan dinding, kursi, meja saya perkirakan sudah masuk kategori barang antik. Lumayan cozy-lah untuk mengisi waktu.
Saya lupa nama kedainya apa. Pokoknya tidak jauh dari Stasiun Tasikmalaya. Tidak sampai 100 meter menurut perkiraan saya.
Saya memesan bakso malang campur. Harganya sekitar Rp20.000. Rasanya enak dan cukup mengenyangkan. Yang bayar, jelas bukan saya hehehe...
***
Saya berada di ruang tunggu Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Banten. Menunggu relasi yang mengajak saya. Di saat perut saya mulai berisik minta makan, tiba-tiba hp saya berbunyi.Â
"Ibu sudah sarapan belum? Saya lagi di Bakmi GM," kata mbak Nay, relasi saya dari LPDB KUMKM Kementerian Koperasi dan UKM, di Bandara Soekarno Hatta, pada 4 Desember 2019. Dia sempat wa saya ternyata tapi tidak terespon oleh saya.Â
Wah jelas saya senang dong. Di saat perut lapar ada yang menawari makan. Siapa yang berani menolak tawaran mbak humas yang mendampingi saya itu?
Sebenarnya saya sudah makan di rumah. Tapi entahlah, perut saya bawaannya selalu lapar melulu. Ketika saya menghampirinya, ia meminta saya untuk duduk manis saja. Katanya, biar dia yang mengurus. Saya serasa orang penting saja.
Saya minta nasi goreng seafood. Harganya, wow bikin mata saya tak berkedip. Meski makanan saya ini dibayari, tetap saja terasa mahal oleh saya.Â
Harganya hampir Rp100.000 berikut segelas es teh manis, paling kurang Rp1000. Buat ukuran saya, ini jelas mahal. Hmmm...bisa buat beli beras, telur, minyak goreng itu. Hahaha...emak-emak memang begini. Penuh perhitungan.
Soal rasa, ya biasalah. Masih lebih enak nasi goreng buatan saya pastinya. Karena terdesak waktu, nasi goreng itu tidak habis. Lalu saya minta ke pegawainya untuk dibungkus buat saya makan di pesawat, meski di dalam pesawat dapat makanan. Ya kan sayang, harganya mahal masa main dibuang?
***
Untuk perjalanan pribadi, baik sendiri atau bersama keluarga, saya sebenarnya tipe orang yang malas bawa bekal. Tidak mau ribet saja. Bawa-bawa wadah di dalam tas. Saya inginnya praktis-praktis saja.Â
Nah, berbeda dengan suami saya yang tipe lebih baik bawa bekal daripada harus jajan di luar. Jadi, kalau mau jalan-jalan pasti bawa bekal, meski sebelum berangkat kami sudah makan.
Tak lupa membawa sayuran mentah, beras, sosis, nugget, daging ayam yang sudah dibumbui, bumbu, mie instan, mie gelas, sambal saos, kompor dan spirtus. Hahaha jiwa mapala suami pun ke luar.
Maksudnya buat jaga-jaga. Kalau bekal habis, ya saya masak. Menepikan sejenak kendaraan di pinggir jalan yang cukup aman sambil beristirahat sambil menikmati pemandangan sambil bersenda gurau.
Tapi...kalau sudah keburu lapar, dan memasak tidak memungkinkan, biasanya mampir ke rumah makan sederhana yang harganya sudah bisa diperkirakan tidak akan membuat kantong bolong.Â
Nah begitulah review "jalan-jalan" saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H