Ini adalah buku karya DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) saat dirinya menjabat Menteri Kesehatan. Judul bukunya "Saat Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung".Â
Buku setebal 182 halaman itu diluncurkan pada Rabu 6 Februari 2008. Kebetulan waktu itu, saya ikut menghadiri peluncuran bukunya. Isinya waktu saya baca kala itu memang bagus, sampai saya ikut tegang mengikuti alur tulisannya.
Saya sengaja membaca kembali buku ini karena belakangan ini masyarakat sering "membawa-bawa" nama Siti Fadilah terkait "teori konspirasi" Covid-19. Mereka yang percaya Covid-19 adalah konspirasi, karena "berkaca" pada kasus flu burung.
Apa iya dalam buku ini Siti Fadilah menyebutkan kasus flu burung sebagai "konspirasi" sehingga menjadi pegangan orang-orang yang tidak percaya kalau Covid-19 itu tidak ada? Hanya rekayasa?
Apa benar Covid-19 itu hasil konspirasi? Awalnya, saya menduga demikian ketika untuk pertama kali virus Corona merebak di Wuhan sana. Belum menyebar ke berbagai negara.Â
Saya waktu itu, menduga memang sengaja diciptakan untuk dijadikan senjata biologis China untuk "melawan" Amerika Serikat. Tujuannya, untuk memenangi pengaruh kekuasaan perdagangan global.Â
"Ah ini mah sebagai cara China buat menguasai perdagangan global," begitu pemikiran saya. Sengaja disebarkan untuk mengetahui seberapa hebat virus itu menginfeksi tubuh manusia. Biar Amerika Serikat "gemetaran" melihat kehebatan virus ini.
Kemudian, pemikiran saya berubah. Jangan-jangan justeru virus itu diciptakan Amerika Serikat lalu dibawa oleh tentaranya ke China saat ada kejuaraan dunia olahraga militer (Military Wolrd Games) pada Oktober 2019 di Wuhan. Tujuannya untuk menakuti China.
Tapi "teori konspirasi" saya pun terpatahkan ketika ternyata hampir banyak negara yang terinfeksi. Termasuk negara adidaya Amerika Serikat yang sempat saya curigai. Bahkan sang presiden, Donald Trump pun terinfeksi. Begitu juga negara-negara maju lainnya.
Dan, itu berarti virus Corona sudah terjadi pandemi yang menandakan sudah terjadi secara global. Jadi, apa benar konspirasi? Letak konspirasinya di mana? Negara mana yang kira-kira tega melakukannya?
Saya pun meragu dan akhirnya menyakini virus Corona nyata adanya. Musuh bersama, musuh banyak negara. Tapi teman saya sampai detik ini tetap menyakini kalau Covid-19 adalah bentuk konspirasi.Â
"Konspirasi gimana sih, ada 153 negara lho yang mengalami resesi gara-gara pandemi. Amerika saja kena. Banyak negara yang mengumumkan resesi. Mana ada negara mau resesi sih?" tukas saya.
Apalagi dampak resesi sangat berat: akan membuat jumlah orang miskin naik, pengangguran meledak, lapangan kerja susah, pertumbuhan ekonomi minus.
Teman saya ini, mengutip perkataan suaminya yang menyakini jika Covid-19 ini adalah konspirasi dunia. "Laki gue percaya sama apa yang dibilang Siti Fadilah (mantan Menteri Kesehatan). Itu contohnya kasus yang flu burung itu," katanya memberikan alasan.
"Ya kan beda itu bu. Flu burung virusnya beda dengan Corona. Ini varian baru. Waktu kasus flu burung kan nggak terjadi pandemi global. Kalau virus Corona Covid-19 kan hampir semua negara terinfeksi," kata saya.
Kalau saya baca di buku ini di halaman 2, paragraf kedua dituliskan, "Indonesia gempar. Ternyata Flu Burung yang menerjang Vietnam tahun 2004, kemudian menyusul Thailand dan China, Â pada tahun 2005, telah memasuki Indonesia pula. Bahkan langsung memakan korban pasien bernama Iwan dan kedua puteranya."
Membaca pernyataan ini, berarti ada jeda waktu cukup lama. Yang tadinya terjadi di Vietnam, lalu tahun berikutnya terjadi di Thailand dan China, yang korban meninggalnya sedikit dibandingkan dengan Covid-19.
Sementara Covid-19 menulari negara-negara lain hampir dalam waktu bersamaan. Tidak ada jeda waktu. Bandingkan dengan Flu burung yang "hanya" terjadi di 4 negara. Tidak seperti virus Corona yang menginfeksi 153 negara lalu lantas sebagaian dari negara-negara itu mengalami resesi.
Dan, Flu burung ini tidak terjadi penularan antara manusia dengan manusia seperti Covid-19, melainkan melalui perantara unggas. "Masyarakat akhirnya bisa mengerti bahwa perantara virus H5N1 adalah unggas," tulis Siti di halaman 3 buku ini.
Saya masih ingat betul, saya mengikuti kegiatan Menteri Pertanian Anton Apriantono di Tangerang dan Bogor saat memusnahkan unggas-unggas yang terinfeksi virus itu.Â
Saya juga mengikuti kegiatan Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Aburizal Bakrie dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang juga memusnahkan unggas yang positif terkena flu burung. Jadi yang dimusnahkan adalah unggas.
"Tapi banyak yang nggak percaya Butet. Itu cuma konspirasi buat jualan vaksin. Kata Fadilah Supari pas kasus flu burung, WHO yang neken dia," timpal teman saya itu.Â
Kalau saya baca di buku ini di halaman 5, dituliskan Siti, obat Tamiflu diborong oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung. Tindakan yang sangat menggoreskan luka mendalam di hatinya, alangkah tidak adilnya.Â
"Bayangkan saja Flu Burung yang menimpa negara-negara berkembang bahkan miskin, tetapi tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia," tulisnya.
Sementara untuk melawan virus Corona, saat ini semua negara maju ramai-ramai bikin vaksin. Indonesia (PT Bio Farma) juga bikin vaksin Covid-19 Merah Putih yang akan rampung pada 2022.
Saat ini, vaksin tersebut masih dalam proses pengembangan di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan ditargetkan ketersediaan isolat (bibit vaksin) bisa diterima Bio Farma pada Januari 2021 (CNBC Indonesia, 30 Agustus 2020).
Jadi semua negara bisa memenuhi vaksin sendiri nantinya. Lantas, siapa yang menjual vaksin jika semua negara mempunyai vaksin sendiri?Â
"Katanya itu cuma virus flu biasa. Cuma didramatisir," katanya lagi.
"Flu biasa bagaimana? Ini kan menyerang paru-paru. Kalau flu biasa kan nggak. Kalau emang flu biasa, kenapa banyak yang payah, nggak sedikit yang meninggal," kata saya.Â
Kawan saya tetap dalam pemikirannya jika virus Corona ada untuk mau jualan vaksin, yang tidak sampai di logika saya. Ya sudahlah, saya malas juga berdebat. Meski disodori fakta-fakta, pemikirannya belum terbuka juga.
Kalau saya baca-baca lagi buku ini, Siti Fadilah tidak menyebut penyebaran Flu Burung adalah konspirasi dunia.Â
Ia hanya mengkritisi mengapa negara berkembang yang terpapar flu burung harus memberikan virus gratis ke WHO, dan negara penyetor tak tahu apa yang akan dilakukan terhadap virus yang disetor itu.Â
Siti mengkritik sangat tertutupnya data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Dari sana timbul kecurigaan.
Ia mempertanyakan mengapa virus Flu Burung strain Indonesia yang dikirim ke WHO disalahgunakan untuk membuat vaksin oleh perusahaan pembuat vaksin swasta (halaman 160).Â
"Saya hanya ingin menghambat perputaran circulus vitiotus yang membahayakan umat manusia. Saya harus memotong lingkaran setan ini, apapun yang terjadi. Maka saya konsisten bergeming. Saya terus berteriak dan berteriak. Saya tidak peduli dikatakan apapun." (halaman 163)
Adanya anggapan konspirasi global di tengah masyarakat inilah yang menurut saya menyebabkan angka kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Akibat banyaknya masyarakat yang tak percaya Covid-19, membuat mereka tak mematuhi protokol kesehatan.
Karenanya, berbagai pihak harus bersinergi mengedukasi masyarakat bahayanya Covid-19 ini. Jangan sampai penanganan Covid-19 berkepanjangan gara-gara "teori konspirasi" ini. Kita tidak mau kan virus ini lama-lama di sini seperti Flu Burung yang butuh waktu sekitar 2,5 tahun untuk bisa dikendalikan.Â
Survei JakPat yang dirilis pada 30 September 2020 menunjukkan 31% masyarakat Indonesia mempersepsikan virus corona Covid-19 adalah bagian dari konspirasi global. Lalu, 10% tak percaya bahwa corona merupakan virus berbahaya. Namun, 59% sisanya menyatakan corona berbahaya. (katadata.co.id, 6/10/2020).
Dari data ini, bahaya banget kan potensi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Kalau saya bilang posisi Indonesia dalam bahaya. Meski ada 59% masyarakat yang bilang kasus corona berbahaya, tapi sisanya lagi tetap harus diwaspadai dan terus diedukasi bahwa teori konspirasi itu tidak benar adanya. Pemikiran yang "sesat" ini harus diluruskan.
Untuk mengurangi orang yang tak percaya Covid-19, perlu diperbanyak edukasi tentang Covid-19 dan bahayanya. Edukasi bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang Covid-19. Bisa pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, kepolisian, pemuka agama, RT, RW, atau kita atau siapa saja.
Kalau perlu mereka-mereka yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 juga harus diberi sanksi hukum yang tegas. Bukan sekedar disuruh menghapal Pancasila, skot jump, dikurung 5 menit di ambulans yang ada peti mati, menyapu jalanan, atau dibagikan masker gratis.Â
Menurut saya, sanksi-sanksi seperti itu tidak akan membuat efek jera. Yang ada malah mengulangi lagi. Apalagi Covid-19 sudah 6 bulan terjadi. Masa tidak sadar-sadar juga sih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI