Ini hasil karya saya. Bagus tidak? Tidak kalah kan dari para maestro? Untuk level pemula, cukup baguslah, menurut saya hahaha.Â
Oleh anak saya yang kecil, hasil karya saya ini ditempelnya di dinding kamarnya. "Bagus banget bun. Aku tempel di kamar aku ya," katanya dan saya pun membolehkannya.
Percaya tidak itu mewarnainya pakai sentuhan jari, bukan kuas? Jika biasanya menggambar atau melukis pakai pensil, nah ini pakai jari-jari saya. Mewarnainya pun pakai jari. Jari-jari saya pun larut dalam kreasinya.
Hasil karya yang keren itu (penilaian pribadi saya ya), saya dapatkan setelah mengikuti Workshop Soft Pastel Art online, Sabtu (3/10/2020). Saya mengikutinya melalui handphone saya.
Saya juga mengajak anak kedua saya, Annajmutsaqib (Najmu), untuk mengikuti workshop yang dipandu Creative Development Yayu Rahayu, dan Product Executive Faber Castell Internasional Indonesia Hanny Ika. Tema yang diangkat dalam workshop ini adalah es krim.
Jadilah saya mengisi hari saya bersama anak saya dengan melukis. Kegiatan yang jarang saya lakukan. Kegiatan yang menurut saya, tidak saja menghilangkan suntuk gara-gara terkurung di rumah, tetapi juga dapat mempererat ikatan bonding antara saya dan anak saya.
Menggambar dengan sentuhan jari ini, kata Public Relations Manager PT Faber-Castell International Indonesia, Andri Kurniawan, terinspirasi trend yang tengah berkembang di Jepang. Karena itu, pihaknya ingin menciptakan trend terbaru bahwa menggambar itu mudah, simpel dan sangat menyenangkan.
Melalui cara ini diharapkan dapat mendorong setiap individu, bahkan yang tidak dapat menggambar pun, untuk berani menggambar dan mewarnai, dengan sentuhan jarinya.
Uniknya, mewarnai lukisan bukan dengan menggoreskan pewarna ke atas kertas, melainkan dengan serbuk dari Soft Pastel Faber-Castell yang sudah dikerik pakai apa saja. Bisa dengan pisau atau penggaris.Â
Serbuk warna ini bisa kita taruh di wadah atau di kertas. Produk pewarna lukisan ini sebenarnya crayon tapi teksturnya menyerupai kapur jadi mudah dikerik.
Nah, serbuk warna inilah yang saya pakai dengan menyentuh jari telunjuk atau jari apa saja. Baru deh digoreskan di atas kertas gambar. Tidak perlu pakai air. Jari yang sudah tertempel serbuk warna itulah yang menjadi "kuasnya".
Karena tema workshop kali ini mengenai es krim, jadi peserta dibebaskan berimajinasi melukis es krim. Pemandu pun memberikan beberapa contoh lukisan es krim.
Saya dan anak saya pun larut dalam imajinasi masing-masing. Di sini, saya bisa memainkan warna sesuka saya. Ada 24 warna dalam satu set. Warna-warnanya juga sangat cemerlang, warna-warna kesukaan saya. Warna pastel yang lembut tapi cemerlang.
Agar warna-warna yang digunakan tercampur merata, para peserta juga diajarkan teknik blending yaitu menggosokan dua jari dengan teknik memutar. Jika ingin mengganti warna, jari dibersihkan terlebih dulu dengan tisu basah agar warna yang kita inginkan tidak tercampur.
Untuk merapikan warna, saya menggunakan penghapus yang sudah tersedia. Untuk membuat warna terkesan bergradasi, saya memakai penghapus berbentuk pensil yang ujungnya berwarna putih. Seperti layaknya pensil, penghapus ini juga bisa diraut. Jadi, saya tidak perlu takut salah mengaplikasikan warna saat menggambar.
Untuk membersihkan gambar dari sisa serbuk, saya memakai kuas yang sudah menyatu dengan penghapus berbentuk pensil. Ada juga stencil yang berbentuk berbagai motif untuk mempercantik gambar.
Saya dan anak saya melakukannya dengan mudah dan tidak ribet. Saya melihat anak saya melakukannya dengan enjoy meski ia merasa hasil karyanya tidak sebagus hasil karya saya atau hasil karya peserta lainnya. "Nanti kita ulangi lagi, kertasnya masih ada itu," kata saya.Â
Kertas untuk menggambar ini memang sudah tersedia dalam satu paket produk itu. Bagi saya, menggambar di tengah pandemi Covid-19 menjadi jembatan waktu untuk kembali menikmati hal-hal yang menarik pada saat saya kecil. Cara seperti ini juga sebagai "obat" pencegah pikun, kelak jika saya menua nanti.
Berdasarkan penelitian yang saya baca manfaat dari menggambar bagi orang dewasa, di antara menghindari pikun (dementia), menghindari stroke, serta dapat melatih fokus dan konsentrasi.
Bisa juga menghilangkan stress karena proses mengusap jari, menghapus, menciptakan obyek, goresan demi goresan terbentuk, yang dilakukan secara sungguh-sungguh, seakan saya terbawa di dalamnya. Stress saya  pun hilang karena mengikuti kegiatan yang menyenangkan dan menikmati segala prosesnya.
Terapi seni seperti ini juga dapat membantu saya atau kita untuk mengeksresikan perasaan. Otak akan merangsang kita untuk fokus pada apa yang sedang dikerjakan dan perasaan sehingga masalah negatif pun akan teralihkan.
Hasil akhirnya, tentu saja menjadi satu penghargaan buat diri saya. Saya pun tidak bosan-bosan memperhatikan hasil karya saya ini dengan tersenyum.
"Bagus nggak daddy?" tanya saya pada suami yang dijawab "bagus" dengan senyum suami yang mengembang.
Menjadi lebih menyenangkan, karena kegiatan menggambar dan mewarnai ini, juga bisa dilakukan bersama-sama dengan keluarga. Membangun kembali bonding antara anak dan saya sebagai orangtua.
"Menggambar menjadi alternatif menyenangkan di tengah pandemi Covid-19. Di mana kita bisa berkumpul bersama keluarga untuk menggambar bersama," kata Yayu Rahayu.
Karena warnanya tahan lama, maka hasil karya ini dapat dijadikan dekorasi rumah. Irit bukan? Selain memperindah suasana rumah, juga bisa menjadi kenangan manis bersama keluarga.
Tak hanya itu, gambar ini juga untuk menghargai hasil karya sendiri, terlebih saya tidak piawai menggambar. Kalau coret-coret sih, jago hahaha... Jadi saya pun takjub dibuatnya. Memuaskan jiwa dan baik untuk otak saya.Â
Seperti kata pepatah, "Tidak ada usaha yang akan mengkhianati hasil". Tampaknya ini bisa menjadi hobi baru saya. Siapa tahu saya bisa bermetamorfosis menjadi seorang pelukis (nyengir).
Tertarik? Bagaimana, mau mencoba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H