Waktu saya naik commuter line relasi Stasiun Jakarta Kota dari Stasiun Citayam, Senin (28/9/2020) pagi, penumpang penuh juga ternyata, meski tidak sesak. Ini kali pertama saya naik kereta lagi setelah pemberlakuan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) jilid 2 yang digulirkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Senin, 14 September 2020.
Tadinya saya berpikir, suasana di dalam gerbong sepi. Penerapan PSBB jilid 2 yang menandakan Jakarta tidak aman dari penularan Covid-19 sepertinya tidak membuat "nyali" masyarakat ciut.
Karena "penuh" jadi sudah bisa dipastikan saya berdiri. Sambil sesekali memperhatikan keadaan, saya memainkan hp saya: bermain game, membaca berita, membalas chat, atau nimbrung di group.
Di tengah perjalanan, saya melihat petugas keamanan menegur penumpang perempuan muda yang berdiri mengobrol dengan penumpang yang duduk di depannya. Perempuan dan masih muda juga. Mungkin mereka berdua saling berkawan. Penumpang yang berdiri ini ngobrol sambil maskernya diturunkan.
"Mbak, mbak, dilarang ngobrol. Maskernya juga dipakai," tegur petugas. Meski ucapannya tidak kencang, tapi terdengar oleh saya. Perempuan muda itu nengiyakan, dan petugas kembali ke posisi semula, berdiri dekat pintu.
Saya pikir kalau sudah diingatkan, orang itu tidak akan mengulangi kesalahannya. Nyatanya tidak. Penumpang itu kembali mengobrol dengan kondisi semula: masker yang diturunkan ke dagu. Melihat hal ini, petugas kembali mengingatkan.
"Mbak, dilarang ngobrol. Maskernya tolong dipakai. Kalau sekali lagi melanggar, mbak turun di stasiun terdekat," kata petugas "mengancam". Perempuan itu pun mengangguk lalu memakai maskernya dengan benar.
Saya heran, selama 6 bulan pandemi Covid-19 merongrong kebebasan beraktifitas masyarakat, masih saja ada orang yang menganggap enteng Covid-19. Masih saja belum tumbuh kesadaran untuk waspada. Padahal, petugas berkali-kali mengingatkan penumpang melalui pengeras suara (announcer) untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Petugas juga selalu mengumumkan protokol kesehatan Covid-19 yang harus dipatuhi penumpang. Selain memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun atau pakai hand sanitizer, juga ada tambahan peraturan saat naik kereta.
Yaitu tidak menggunakan masker tipe scuba dan buff, dianjurkan juga pakai face shield agar lebih aman, memakai baju lengan panjang (karena ada riset yang menyebut menggunakan pakaian lengan panjang ini menurunkan risiko penularan), hingga dilarang berbicara di dalam kereta dan menerima panggilan telepon karena bisa menimbulkan droplet yang dikhawatirkan dapat menyebar ke penumpang lain.
***
"Butet..., tadi gue ditegur petugas kereta dilarang maen hp," cerita kawan saya saat bertemu dalam kegiatan yang sama.
Oleh kawan-kawan seprofesi, saya memang kerap dipanggil "Butet" untuk menyingkat "Ibu Tety", terkadang juga dipanggil "Buketu" untuk menyingkat "Ibu Ketua". Ya suka-suka teman-teman saya sajalah selama itu tidak menyinggung perasaan saya.
"Bukan dilarang main hp, tapi dilarang menerima telepon atau telepon karena dikhawatirkan saat loe ngobrol ada percikan droplet yang menyebar," kata saya meluruskan. Sebagai pengguna setia kereta, informasi yang kurang benar harus saya luruskan dong.
Karena selama saya naik kereta di masa pandemi, saya main hp tidak pernah ditegur. Main game, baca berita, atau menonton. Aman-aman saja. Karena lupa, pernah sekali saya menelpon tapi langsung saya matikan ketika petugas menatap mata saya. Tatapannya sungguh tajam. Hahaha...
"Eh iya kali ya. Tadi emang gue dapat telepon dari guru anak gue soal kegiatan. Gue kagak tau kalau dilarang," kata kawan saya yang tinggal di sekitar Condet, Jakarta Timur. Memang dia sangat jarang naik kereta, lebih seringnya naik Bus TransJakarta. Jadi, bisa dimaklumi kalau kawan saya ini "kudet" alias kurang update hahaha.
Cerita yang sama juga diceritakan kawan saya yang lain, yang ditegur petugas karena mengobrol di telepon. "Malu banget gue ditegur begitu, apalagi banyak orang," katanya.
"Ya kan memang dilarang bu dari sebelumnya," kata saya. "Iya, cuma persoalannya gue kagak tau kalau dilarang, jadi taunya pas ditegur tadi. Waduh merah banget muka gue. Untung pake masker jadi kagak kelihatan. Tapi tetap aja malu," ujarnya tertawa.
Sosialisasi yang sering saja masyarakat kadang abai atau lupa, bagaimana kalau tidak ada sosialisasi ya?
***
Larangan untuk tidak mengobrol langsung atau mengobrol lewat telepon saat berada di transportasi umum, bisa dimaklumi. Karena hal ini penting untuk mencegah risiko tertular Covid-19 saat berada di dalam busway, KRL, MRT, ataupun sarana transportasi lain.
Terlebih berdasarkan penelitian dari CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) Amerika Serikat menyebut jika saat orang melakukan kegiatan mengobrol ada droplet-droplet kecil yang keluar. Droplet-droplet kecil ini bisa bertahan selama 15 menit di udara sebelum akhirnya jatuh.
Sementara mengobrol melalui ponsel saat berada di transportasi umum mengapa dianjurkan untuk tidak dilakukan karena material pada ponsel berupa plastik atau metal rentan menjadi medium penularan virus corona penyebab penyakit Covid-19.Â
Saat virus menempel di handphone, itu bisa bertahan hingga lima hari. Karenanya, jangan dianggap sepele. Komunikasi bisa diganti dengan mengirim pesan lewat WhatsApp. Lawan bicara kita juga pasti paham dengan kondisi kita.
Selama pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda berakhir dan masih mengkhawatirkan, kita sebagai masyarakat patuhi saja protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Tidak usah protes atau membantah. Tidak ada ruginya juga bukan?Â
Semua itu demi kebaikan, keselamatan, dan kesehatan kita bersama. Kita tentunya tidak mau kan terkena Covid-19 dan terjauh dari keluarga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H