Begitu pula dengan berita wafatnya wartawan senior yang juga pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (88). Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (9/9/2020). Tak lama berselang setelah kepergian sahabatnya, Abdul Malik Fadjar.
Beliau wafat karena mengalami gangguan multiorgan. Usia sepuh kemudian memperparah kondisinya hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Almarhum akan diantarkan ke tempat perisitirahatan terakhir di Tamam Makam Pahlawan Kalibata, pada Kamis 10 September 2020.
Orang-orang yang mengenal sosoknya terus mengulas segala kebaikan Tokoh Pers Nasional ini, segala kiprahnya dan pembangunan negeri ini. Tidak terdengar sedikitpun kejelekan dari sosok yang bersahaja ini. Siapa yang tidak mengenal Jakob Oetama?
Dari peristiwa-peristiwa kematian ini apa yang bisa kita ambil hikmahnya? Ya, ada nasihat buat kita. Akankah kita mati dalam keadaan berbuat baik atau sebaliknya dalam keadaan berbuat tercela?
Yang jadi pertanyaan, kapan kita mati? Kita tidak tahu kapan kematian akan menjemput kita. Jika kita tahu kematian akan datang, mungkin kita semua akan bersiap dengan segala bekal yang itu juga belum tentu cukup. Nah di sinilah kita diuji, bagaimana kita mengisi hari-hari hidup kita.
Mengapa kita harus mengingat mati? Karena dalam kematian, ada nasihat. Rasullullah bersabda, "Cukuplah kematian sebagai nasihat." (HR al-Thabrani, al-Baihaqi).
Dikatakan nasihat, ya sebagai pengingat diri, kelak kita juga akan mati. Kita tidak bisa lari dari kematian. Mau bersembunyi di lubang jarum sekalipun, kematian akan menghampiri.
Sudah tidak terhitung banyaknya manusia di bumi ini yang meninggal dunia. Entah itu raja, presiden, ulama, pejabat, tokoh agama, orang-orang shaleh, para nabi, bahkan Rasullullah, manusia yang paling mulia sekalipun juga harus mengalami kematian.
Karena memang kematian adalah suatu keniscayaan. Tidak ada seorangpun yang mampu menahannya. Karena setiap manusia pasti merasakan mati.
Karenanya, kita harus mempersiapkan diri saat maut menjemput. Harta yang kita kumpulkan, tahta yang ditasbihkan, jabatan yang disandangkan, ketenaran yang diraih, tidak ada lagi artinya ketika kematian menjemput. Kita hanya membawa "bekal" amal kebaikan atau amal keburukan.
Allah Swt berfirman, "Katakanlah. Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh, kematian itu akan menemui kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Kemudian Dia beritakan pada kalian apa yang telah kalian kerjakan." (QS. al-Jumu'ah: 8)