Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Begitu peribahasa yang akrab di telinga saya sejak saya kecil, saat saya masih duduk di bangku SD.
Arti dari peribahasa itu adalah orang yang baik akan meninggalkan nama baik dan orang jahat akan meninggalkan nama buruk yang tercemar. Kita, sebagai manusia kelak berada dalam posisi yang bagaimana?
***
Baru-baru ini viral berita mengenai meninggalnya Ketua DPRD Lebak Banten. Yang bikin viral, ia meninggal saat menginap di hotel yang dibumbui ia tengah bersama rekan perempuannya.
Perempuan inilah yang menghubungi resepsionis hotel terkait kondisi anggota dewan tersebut di kamar. Desas desus pun beredar ke sana ke sini. Dan, dikupas tuntas oleh media massa dan media sosial.
Diberitakan pula Jaksa penuntut penyerang Novel Baswedan, Robertino Fedrik Adhar meninggal pada Senin, 17 Agustus 2020. Nama Jaksa Fedrik mencuat saat menjadi jaksa penuntut bagi penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.
Fedrik ramai dikritik lantaran hanya menuntut satu tahun penjara bagi Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis -- terdakwa penyiram air keras terhadap Novel. Kematiannya oleh sebagian orang dikaitkan dengan "azab".
Di belahan daerah lain, beredar rekaman CCTV Wakil Ketua Muhammadiyah Kota Pekalongan Ustaz Hasan Bisri yang meninggal dunia saat salat di masjid. Sang ustaz meninggal dalam posisi sujud.
Jelas saja peristiwa itu pun menjadi viral mengingat ia tampak datang dalam keadaan sehat. Beliau meninggal dalam keadaan yang baik atau husnul khatimah.
Belum lama tersiar kabar wafatnya tokoh Muhammdiyah Abdul Malik Fadjar yang pernah menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo periode pertama, Menteri Agama pada era Presiden ke-3 RI BJ Habibie, Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Kematian Abdul Malik Fadjar yang juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang saat itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004, hingga kini terus diperbincangkan. Tentu saja yang dibicarakan kebaikan-kebaikannya.
Begitu pula dengan berita wafatnya wartawan senior yang juga pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (88). Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (9/9/2020). Tak lama berselang setelah kepergian sahabatnya, Abdul Malik Fadjar.
Beliau wafat karena mengalami gangguan multiorgan. Usia sepuh kemudian memperparah kondisinya hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Almarhum akan diantarkan ke tempat perisitirahatan terakhir di Tamam Makam Pahlawan Kalibata, pada Kamis 10 September 2020.
Orang-orang yang mengenal sosoknya terus mengulas segala kebaikan Tokoh Pers Nasional ini, segala kiprahnya dan pembangunan negeri ini. Tidak terdengar sedikitpun kejelekan dari sosok yang bersahaja ini. Siapa yang tidak mengenal Jakob Oetama?
Dari peristiwa-peristiwa kematian ini apa yang bisa kita ambil hikmahnya? Ya, ada nasihat buat kita. Akankah kita mati dalam keadaan berbuat baik atau sebaliknya dalam keadaan berbuat tercela?
Yang jadi pertanyaan, kapan kita mati? Kita tidak tahu kapan kematian akan menjemput kita. Jika kita tahu kematian akan datang, mungkin kita semua akan bersiap dengan segala bekal yang itu juga belum tentu cukup. Nah di sinilah kita diuji, bagaimana kita mengisi hari-hari hidup kita.
Mengapa kita harus mengingat mati? Karena dalam kematian, ada nasihat. Rasullullah bersabda, "Cukuplah kematian sebagai nasihat." (HR al-Thabrani, al-Baihaqi).
Dikatakan nasihat, ya sebagai pengingat diri, kelak kita juga akan mati. Kita tidak bisa lari dari kematian. Mau bersembunyi di lubang jarum sekalipun, kematian akan menghampiri.
Sudah tidak terhitung banyaknya manusia di bumi ini yang meninggal dunia. Entah itu raja, presiden, ulama, pejabat, tokoh agama, orang-orang shaleh, para nabi, bahkan Rasullullah, manusia yang paling mulia sekalipun juga harus mengalami kematian.
Karena memang kematian adalah suatu keniscayaan. Tidak ada seorangpun yang mampu menahannya. Karena setiap manusia pasti merasakan mati.
Karenanya, kita harus mempersiapkan diri saat maut menjemput. Harta yang kita kumpulkan, tahta yang ditasbihkan, jabatan yang disandangkan, ketenaran yang diraih, tidak ada lagi artinya ketika kematian menjemput. Kita hanya membawa "bekal" amal kebaikan atau amal keburukan.
Allah Swt berfirman, "Katakanlah. Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh, kematian itu akan menemui kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Kemudian Dia beritakan pada kalian apa yang telah kalian kerjakan." (QS. al-Jumu'ah: 8)
Allah tidak menyebutkan kapan persisnya seseorang akan meninggal dan di mananya. Tidak penting kita untuk mengetahui kapan persisnya kita meninggal. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bersiap diri menyambut kematian dan kehidupan setelahnya.
Mari kita renungkan bersama, akan kita apakan sisa-sisa umur kita. Apakah untuk melaksanakan taat kepada Allah ataukah hanya disia-siakan begitu saja sehingga melalaikan kita akan kehidupan di akhirat kelak?
Semoga kita semua selalu dalam perlindungan Allah, yang selalu menjaga kita untuk tidak melakukan perbuatan yang dimurkaiNya. Dengan demikian, ketika ajal menjemput, kita dalam keadaan husnul khatimah.
Wa Allahu a'lam bi al-shawab.
*Tulisan ini juga sebagai pengingat untuk diri saya sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H