Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Narkoba Hampir "Menjerumuskan" Saya

8 September 2020   19:24 Diperbarui: 8 September 2020   19:20 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita penyanyi Reza Artamevia (dan banyak orang lainnya) yang tertangkap karena mengonsumi narkoba (narkotika dan obat terlarang), membuat saya termenung. Apa yang merasukinya? Tidak terpikirkankah bagaimana anak-anaknya, keluarganya, orangtuanya?

Apakah berita sesama rekan artis yang tertangkap narkoba tidak membuatnya berpikir berkali-kali sebelum memakai obat terlarang itu?

Apa enaknya narkoba ya sampai banyak orang yang kecanduan? Harga narkoba yang mahal tapi masih ada juga yang beli sampai harus menjual barang-barang atau berbuat kejahatan.

Buat apa ya? Kalau buat menenangkan diri kenapa tidak lebih mendekatkan diri saja kepada sang pemilik kehidupan? Kenapa harus lari ke narkoba? Bukannya ke luar dari masalah, yang ada malah tambah masalah.

Bahaya mengenai narkoba sudah sering disuarakan, tapi angka pemakainya bukannya menyusut, yang ada malah meningkat. Persis seperti jumlah perokok, meski sudah ditakut-takuti bahaya merokok dengan menampilkan gambar yang seram, ya dianggap angin lalu saja.

Mungkin karena awal-awalnya penasaran, lalu mencoba. Terlebih setelah diiming-imingi gratis. Karena merasa nikmat dan menenangkan (logika dari mana ya?), kemudian dicoba lagi, sampai akhirnya ketagihan. Begitu barangkali ya?

Saya jadi teringat di awal-awal saya menjadi pekerja lapangan 20 tahun lalu. Waktu itu, ekstasi lagi "naik daun". Saya penasaran seperti apa itu ekstasi? Kenapa disebut butterfly? Apa enaknya sampai  orang mau mengonsumsinya?

Saya ungkapkan rasa penasaran saya ini kepada rekan kerja saya, pria, yang saat itu tengah mengerjakan tugasnya. "Loe benaran penasaran?" tanyanya, yang saya jawab "iya". Selama ini kan saya tahu dari berita-berita dan katanya-katanya.

Lalu rekan kerja saya ini memberikan saya 6 butir tablet berwarna pink dengan gambar kupu-kupu. Terbungkus plastik rapi. Saya baru tahu kenapa disebut butterfly karena pil ekstasi itu bergambar timbul kupu-kupu.

Bentuknya mirip seperti vitamin C tablet yang sering saya isap ketika sariawan, yang warnanya kuning. "Apa rasanya seperti itu?" tanya saya dalam hati sambil berkali-kali mengamati tablet itu.

"Kalo gue minum, nggak apa-apa?" tanya saya yang dijawab, "Kagakkkk". Rekan saya ini tersenyum lebar. Maklum, itu pertama kalinya saya bersentuhan dengan ekstasi. Benar-benar menyentuhnya.

Bukan lagi sekedar lewat gambar yang sering saya lihat di kantor-kantor polisi, yang suka dipajang di media informasi yang berbentuk kotak semacam majalah dinding di sekolah.

"Nggak bakalan bikin gue kecanduan?" tanya saya lagi. "Ya kagaklah," katanya. "Yakin loe?" tanya saya tidak percaya. "Makanya dicoba dulu baru loe komen. Itu buat loe aja," ujarnya. Memang harganya berapa ya kok dia mau memberikan kepada saya secara percuma?

Tapi karena saya sudah ketakutan duluan, takut dengan efek sampingnya seperti yang saya ketahui ketika mengikuti seminar bahaya narkoba, pil itu pun saya kembalikan lagi tapi ditolak oleh rekan saya. Tablet itu saya simpan di tas, lalu saya buang ketika saya pulang kerja. Entah di mana itu. Saya lupa.

Entah apa jadinya jika saya mengikuti rasa penasaran saya itu, lalu mengonsumsinya. Bisa jadi saya kecanduan. Bisa jadi saya mati dalam keadaan overdosis. Bisa jadi saya berbuat kriminal untuk mendapatkan obat terlarang itu.

Bisa jadi seperti yang saya lihat di film atau yang saya baca di berita. Bisa jadi juga saya tidak akan seperti saat saya sekarang ini. Bisa jadi, bisa jadi, bisa jadi... Ihh bergidik saya. Alhamdulillah...saya masih dilindungi.

Suami saya punya teman, yang juga teman saya. Dia satu kampus dengan suami saya, tetapi satu profesi dengan saya, sama-sama pekerja lapangan. Sering main ke rumah juga, bahkan beberapa kali menumpang menginap.

Kawan saya ini sudah dua tahun terakhir ini berada di penjara Cilodong, Depok, Jawa Barat, karena narkoba. Suami saya yang mendampinginya saat ia sudah ditangkap, saat disidang, saat di penjara. Beberapa kali suami juga membezuknya di sana.

Bayangkan, karena narkoba masa depannya jadi buram dan muram. Kehilangan pekerjaan, harta benda habis dijual, dan jauh dari keluarga. Orangtuanya bahkan sampai harus menjual rumah untuk mengurus segala persidangannya. Menyedihkan.

Saya tanya apa yang membuatnya harus berkawan dengan narkoba? Katanya sih biar pikirannya tenang tapi ngomongnya sambil nyengir. Apa yang tenang coba? Saat menggunakan narkoba yang dirasakan hanya halusinasi.

Wajahnya juga terlihat pucat. Bawaannya lemas. Badannya serasa remuk. Kepala pusing, bahkan nafsu makan berkurang. Jadi, apanya yang tenang?

Padahal dia juga bukan dari keluarga yang bermasalah. Aktif juga dalam kegiatan yang bermanfaat semisal mendaki gunung. Aktifitasnya juga cukup padat. Setahu saya kawan-kawannya orang-orang baik. Tapi ternyata terjerat juga. Entah siapa yang sudah menjerumuskannya.

Yang saya herankan, apakah orang-orang yang terlibat penyalahgunaan narkoba tidak menjadikannya pelajaran saat "sesama" pengguna ada yang tertangkap lalu di penjara, ada yang mati karena over dosis, ada yang hidupnya jadi berantakan? Apakah tidak menjadi bahan perenungan?

Bahaya narkoba ini tidak hanya menyasar pria dewasa, tetapi juga perempuan. Entah dia berprofesi aparat kepolisian, pejabat negara, anggota dewan, politisi, guru, guru agama, artis, hampir semua profesi tidak lepas dari jeratan ini. Bahaya banget kan?

Parahnya, juga menyasar kalangan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Berdasarkan data KPAI tahun 2018, dari total 87 juta anak yang berusia maksimal 18 tahun tercatat 5,9 juta yang terpapar sebagai pecandu narkoba, 27 persen di antaranya adalah anak-anak yakni 1,6 juta anak sebagai pengedar.

Dari data itu jelas sangat mengkhawatirkan mengingat anak anak adalah generasi penerus bangsa. Ini menandakan, pembangunan untuk karakter dan pengawasan pada anak di Indonesia belum maksimal.

Narkoba bukan hanya berdampak buruk bagi kondisi tubuh, tapi juga bisa mempengaruhi kualitas hidup. Jadi, susah berkonsentrasi saat bekerja, mengalami masalah keuangan, hingga harus berurusan dengan pihak kepolisian jika terbukti melanggar hukum.

Bahaya narkoba hingga menjadi kecanduan memang bisa disembuhkan, tapi itu juga butuh dana yang tidak sedikit. Karenanya,  akan lebih baik jika berhenti menggunakannya sesegera mungkin atau tidak memakai sama sekali. 

Jangan sekali-kali mencoba deh. Jangan mudah terbujuk rayuan. Tanyakan hati, fungsikan otak agar tidak mudah terjerumus.

Mari kita sama-sama memerangi narkoba. Ingat, narkoba musuh kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun