Beberapa hari lalu viral foto antrian sidang cerai gugatan cerai di Pengadilan Agama (PA) Soreang Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dalam narasinya, "Bandung'ers, jangan terkecoh yaa, ini bukan antrian penerima bantuan sosial, tapi antrian orang-orang yang mau cerai di Pengadilan Agama Soreang..." tulis akun instagram @bandung.update. Pihak PA Soreang membenarkan hal tersebut.
Apakah benar adanya pandemi Covid-19 menyebabkan perceraian meningkat? Perlu ditelisik juga. Terlihat antri apa karena adanya pembatasan jarak atau memang yang mengajukan perceraian banyak?
Nah, kemarin, Kamis (3/9/2020), saya menemukan jawabannya saat mengikuti
Webinar Nasional bertajuk "Masalah dan Solusi Perceraian di Indonesia" yang diadakan Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (PRKP MUI) Pusat, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama, dan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung.
Webinar ini menghadirkan narasumber yang salah satunya adalah Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Aco Nur. Dalam pemaparannya, perceraian dampak pandemi seperti yang viral itu tidak signifikan di Indonesia. Ya memang kenaikan tingkat perceraian tetap ada, namun itu tidak signifikan disebabkan pandemi.
"Bertumpuknya para pencari keadilan di Pengadilan Agama itu akibat PSBB dan sarana prasarana yang ada berkurang kapasitasnya, kursi berjumlah 100 tidak boleh diisi semua, maka mereka menunggu di luar pengadilan, maka terlihat menumpuk," ujarnya , Kamis (3/9/2020).
Berdasarkan catatannya, data pendaftaran perceraian (gugat maupun talak) pada Januari dan Februari meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada  Januari jumlahnya 58.554, meningkat dari 56.813 di tahun sebelumnya.Â
Sementara pada Februari 2020, jumlahnya 40.472 meningkat dari 39.381 di tahun sebelumnya. Padahal pada dua bulan itu, Covid-19 belum dikatakan melanda Indonesia.
Ia tidak menampik jumlah perceraian sangat tinggi pada Juni 2020 karena mencapai 57.750. Angka ini naik drastis jika dibandingkan tahun 2019 yang hanya 37.048 perceraian. Namun Aco menegaskan, angka pendaftaran perceraian yang sifnifikan pada  Juni itu disebabkan penumpukan pendaftaran.Â
Penumpukan pendaftaran karena pada Maret sampai Mei, pemerintah menerapkan PSBB dan MA ikut menjalankan itu. Akibatnya, setelah masuk era kenormalan baru dan kuota pendaftaran kembali normal, ada limpahan pendaftaran dari bulan sebelumnya.
"Jangan terpengaruh bahwa dengan Covid-19 ini masyarakat Islam mengambil langkah drastis. Efek perceraian akibat pandemi tidak besar, paling hanya dua persen. Kita bersyukur bahwa umat Islam mampu mempertahankan keluarga di tengah pandemi," tuturnya.
Dari data pendaftaran perceraian yang jumlahnya tidak signifikan itu, Aco menilai ketahanan keluarga kalangan Islam tidak banyak terpengaruh pandemi. Memang tidak dipungkiri pandemi menggerus perekonomian keluarga, namun tidak menyurutkan semangat umat untuk mengeratkan keluarga.
"Berangkat dari data yang ada, saya menilai masih banyak harapan bagi umat Islam mempertahankan keluarganya, walaupun keadaan Covid-19 yang berefek pada pendapatan yang hilang, sehingga rumah tangga terus berkurang pendapatannya," tandasnya.
***
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga (RPK) Prof. Amany Lubis, saat membuka webinar, menyampaikan, di masa pandemi Covid-19 ini semua harus bersabar. Setiap pihak didorong memberikan ketenangan jiwa dan memikirkan kesehatan keluarga.Â
"Allah SWT sudah menyatakan bahwa memang halal, diperbolehkan melakukan perceraian, bisa, menyelesaikan ikatan rumah tangga itu boleh, tetapi itu kehalalan paling dimurkai Allah SWT, sedapat mungkin ketahanan keluarga harus dijaga," tegas Prof. Amany yang juga Rektor UIN Jakarta ini.
Menurutmya, perceraian disebabkan banyak faktor. Bisa karena tidak adanya kesepahaman dan kesepakatan dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Bisa juga karena rendahnya pemahaman tentang bagaimana berumah tangga seperti mengasuh anak. Terkadang alasan-alasan sepele lain juga kerap menjadi penyebabnya termasuk faktor ekonomi.
"Sekarang perempuan sudah didorong untuk bekerja dan laki-laki didorong untuk kreatif dan lebih serius mendorong kemajuan keluarganya. Semua anggota keluarga harus kreatif untuk menghadapi rutinitas di dalam keluarga. Kita dianjurkan untuk menjaga bahtera rumah tangga," katanya. Â
Sebagai langkah solusi, Komisi PRK MUI Pusat sejak tahun 2016 telah menerbitkan buku berjudul "Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Islam". Rencananya, buku ini akan direvisi dan diterbitkan ulang. Buku ini sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Arab, dan mendapat tanggapan positif dari rekan sejawat dunia Islam.
Â
***
Mengingat maraknya kasus gugatan perceraian yang terjadi belakangan ini, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama, Muharam Marzuki, meminta masyarakat untuk menguatkan ketahanan keluarga di tengah pandemi covid-19.Â
"Keluarga adalah pondasi paling dasar dari sebuah negara. Karena itu, penting bagi kita untuk menguatkan ketahanan keluarga di tengah masa pandemi ini. Salah satu cara untuk menguatkan ketahanan itu dengan memperkuat sisi agama dalam kehidupan berumah tangga," kata Muharam yang juga menjadi pembicara dalam webinar yang sama.
Dikatakan, keluarga yang kuat adalah keluarga yang mampu mewujudkan konsep keluarga ideal. Dalam konsep Islam disebut dengan keluarga yang sakinah mawadah warahmah, yaitu kehidupan rumah tangga yang tenang, penuh cinta dan kasih sayang. Di dalamnya ada istri, suami dan anak yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Mereka mampu memperkuat dan melanggengkan jalinan keluarganya.
***
Ya kabar perceraian membuat hati saya gelisah dan telinga saya panas. Yang bikin saya miris dan prihatin, justru perceraian terjadi saat mahligai rumah tangga baru saja dibangun. Baru hitungan tahun, cerai. Bahkan ada juga yang baru seumur jagung, bubar jalan.
Ada yang melalui proses pacaran yang bertahun-tahun, tapi ketika menikah hanya sebentar. Sayang banget kan? Lantas, buat apa menikah kalau begitu? Ke mana komitmen saat ijab kabul?Â
Pernikahan saya yang selama 16 tahun ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal-hal yang membuat saya ingin berpisah meski hanya tersampaikan dalam hati. Tapi saya kembalikan lagi niat awal menikah. Bukankah saya menikah karena niat untuk menjalankan ibadah?
Selama tidak ada kekerasan fisik dan suami juga bertanggung jawab, menurut saya, pernikahan layak untuk dipertahankan. Terlebih sudah ada anak-anak yang mulai beranjak remaja.Â
Tak lupa perbanyak berdoa agar ketahanan keluarga terus diperkuat supaya mampu menghadapi segala cobaan. Sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawadah warahmah, yaitu kehidupan rumah tangga yang tenang, penuh cinta dan kasih sayang sebagaimana doa yang selalu dipanjatkan para tamu saat menghadiri pesta pernikahan kita.
Dalam keluarga ada istri, suami dan anak yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di antara anggota keluarga harus saling menguatkan. Terlebih di tengah kondisi yang penuh tantangan ini.
Bismillah..., kita pasti bisa! Ok?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H