Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyoal Gugatan RCTI Oke yang Tidak Oke

3 September 2020   07:58 Diperbarui: 3 September 2020   07:50 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini masih seputar gugatan UU Penyiaran, yang masih hangat menjadi bahan perbincangan.

"Tety, kita terancam gak bisa lagi pakai fitur Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live dan konten," tulis Dara Nasution di email saya, kemarin.

Keluhannya itu terkait upaya RCTI dan Inews yang menggugat dan ajukan uji materi UU penyiaran ke Mahkamah Konstitusi agar yang bisa siaran live di medsos hanya lembaga atau perorangan yang punya badan usaha dan badan hukum. 

"Artinya orang-orang biasa kayak kita nih gak bisa live lagi di medsos!," keluhnya.

Sebagaimana ramai diperbincangkan, menurut RCTI dan Inews, definisi penyiaran itu juga termasuk fitur media sosial seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live. Akibatnya, jika gugatan ini dikabulkan, masyarakat terancam tidak bisa mengakses media sosial secara bebas.

Menurut keduanya, layanan OTT yang tidak memiliki kepastian hukum tidak terikat oleh UU penyiaran sebagaimana yang terjadi dengan lembaga penyiaran konvesional. Seharusnya, OTT masuk UU penyiaran karena turut memproduksi siaran.

Inews dan RCTI beralasan mengapa layanan OOT harus masuk ke dalam aturan penyiaran karena turut melaksanakan aktivitas penyiaran. 

Aktivitas yang dimaksud yaitu penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar. Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional hanya terletak pada cara pemancarluasan/penyebarluasan. 

"Tapi sesat banget nih pola pikir mereka. Kan beda banget media penyiaran yang pakai frekuensi publik sama media sosial," katanya lagi.

Kalau merujuk pada peraturan OTT di internasional, negara-negara seperti Kanada, Inggris, Australia, Jepang dan Singapura saja tidak mengatur layanan audio visual berbasis Video-on-Demand (VoD) yang menggunakan internet untuk diklasifikasikan sebagai bagian dari penyiaran.

Menurut Dina, media yang memakai frekuensi publik itu jumlahnya memang terbatas, sehingga harus digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan publik. Sementara medsos kan tidak pakai frekuensi publik yang terbatas itu.

"Kalau banyak orang beralih ke medsos dan nggak lagi nonton TV, jangan salahin medsosnya dong. Harusnya mereka lebih introspeksi diri, apakah selama ini tayangan mereka udah bagus dan mendidik publik?" tukasnya.

Orang lari ke medsos karena bosan siaran TV yang tidak ada peningkatan kualitas selama bertahun-tahun.

"Kalau gugatan RCTI dan Inews itu dikabulkan MK, kita bisa dipenjara kalau upload Instagram Live! Serem gak siaran aja disamain sama kriminal?"

Tidak cuma fitur medsos seperti Instagram Live dan lainnya, Youtube dan Netflix pun juga kena imbas kalau gugatan RCTI dan Inews ini dikabulkan MK. 

Ia pun meminta dukungan saya agar Mahkamah Konstitusi menolak gugatan RCTI dan INews untuk membatasi publik menggunakan fitur live di media sosial. 

Karena, kalau yang bisa siaran dibatasi hanya yang punya izin penyiaran, akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi kreatif dan digital kita. 

"Juga menghambat kebebasan berekspresi masyarakat. Belum lagi kita nanti dikatain cupu sama negara-negara lainnya kan," ulasnya.

Argumentasinya beralasan juga sih dan saya sependapat dengannya. Banyak yang beralih ke medsos ya karena tayangan di televisi tidak lagi menarik. Ya saya saja sudah lama tidak menonton acara-acara di televisi. Apalagi tayangan yang di RCTI. Jadi, saya mendukung perjuangannya.

Studi Nielsen pada 2018 menyebutkan masyarakat menonton televisi rata-rata 4 jam 53 menit per hari, sementara menonton di internet sekitar 3 jam 14 menit. Sekarang bisa jadi lebih lama lagi. 

Berdasarkan studi Nielsen pada 2020 pembatasan aktivitas di luar rumah selama pandemi membuat konsumen merasa lebih terikat dengan media sebagai sumber utama dalam mencari hiburan. Nielsen New Normal Survey menemukan, 98% konsumen menikmati hiburan dari berbagai platform media baik TV, radio ataupun online.

Namun, dari survei itu tren hiburan dalam ruangan yang dilakukan secara online juga menunjukkan peningkatan yang signifikan selama pandemi Covid-19, seperti menonton film atau serial secara online setiap hari naik 57%, bermain gim online setiap hari naik 62% dan mendengarkan audio atau musik online setiap hari naik 35%. 

Sebagian besar dari konsumen yang baru mengadopsi kegiatan tersebut berniat untuk terus melakukannya di saat pandemi sudah berakhir. Hal ini membuka peluang yang bisa digarap oleh para pemain di industri online video portal, online game maupun online audio.

Apa karena terjadi penurunan jumlah penonton, terutama di segmen hiburan,  dua industri pertelevisian Indonesia milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo, PT Visi Citra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), mengajukan permohonan uji materi terhadap UU 32/2002 ke MK dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020?

Pasal yang diuji adalah pasal 1 ayat 2, yang bunyinya: "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."

Kalau tuntutan platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin, bagaimana nasib mereka-mereka yang "mencari" rejeki di situ seperti yang dikeluhkan banyak orang? Tidak sedikit juga yang hanya sekedar lucu-lucuan.

Ketika media sosial wajib menjadi lembaga penyiaran berizin, berarti ketika ada diskusi live di Instagram atau Facebook atau Youtube harus mengantongi ijin terlebih dahulu sebelum menyiarkan, begitu? Kok saya melihatnya merepotkan ya?

Kan sudah ada UU ITE, jadi mengapa juga harus ada ijin dan UU Penyiaran perlu digugat? Kalau untuk media sosial mah yang diatur lebih baik yang terkait konten: tidak berbau SARA, ujaran kebencian, bullying, dan sejenisnya. Dan, ini sudah berlaku bukan? 

Tapi syukurlah pemerintah tidak sependapat dengan upaya hukum yang ditempuh RCTI dan Inews. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli mengatakan, layanan OTT memiliki banyak lapisan dalam industri telekomunikasi seperti lapisan aplikasi, lapisan isi pesan singkat dan lapisan panggilan video atau konfrensi video.

"Dengan beragam lapisan tersebut untuk pengaturannya pun cukup kompleks dan tidak bisa bersandar pada satu peraturan saja. Saat ini, peraturan OTT merujuk pada jenis layanannya," kata Ramli sebagimana dikutip Bisnis.com, Selasa (1/9/2020).

Dia juga berpendapat bahwa layanan OTT di Tanah Air masih tumbuh dan berkembang jika diatur maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital nasional.

Menurut saya, harusnya sebelum mengajukan gugatan, RCTI dan Inews urun rembug dulu dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Apakah gugatanya mendasar atau tidak. Kalau begini kan terlihat jelas kalau RCTI dan Inews egois mau menang sendiri.

Kalau UU Penyiaran ini bermasalah, mengapa stasiun televisi yang lain adem ayem saja? Ada 15 stasiun televisi di Indonesia lho -- TVRI, RCTI, SCTV, MNCTV, antv, Indosiar, MetroTV, Trans TV, Trans7, tvOne, GTV, Kompas TV, NET., RTV, dan iNews, harusnya semuanya menggugat dong, bukan hanya RCTI dan Inews.

Ah RCTI semakin tidak oke saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun