Menurut Dina, media yang memakai frekuensi publik itu jumlahnya memang terbatas, sehingga harus digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan publik. Sementara medsos kan tidak pakai frekuensi publik yang terbatas itu.
"Kalau banyak orang beralih ke medsos dan nggak lagi nonton TV, jangan salahin medsosnya dong. Harusnya mereka lebih introspeksi diri, apakah selama ini tayangan mereka udah bagus dan mendidik publik?" tukasnya.
Orang lari ke medsos karena bosan siaran TV yang tidak ada peningkatan kualitas selama bertahun-tahun.
"Kalau gugatan RCTI dan Inews itu dikabulkan MK, kita bisa dipenjara kalau upload Instagram Live! Serem gak siaran aja disamain sama kriminal?"
Tidak cuma fitur medsos seperti Instagram Live dan lainnya, Youtube dan Netflix pun juga kena imbas kalau gugatan RCTI dan Inews ini dikabulkan MK.Â
Ia pun meminta dukungan saya agar Mahkamah Konstitusi menolak gugatan RCTI dan INews untuk membatasi publik menggunakan fitur live di media sosial.Â
Karena, kalau yang bisa siaran dibatasi hanya yang punya izin penyiaran, akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi kreatif dan digital kita.Â
"Juga menghambat kebebasan berekspresi masyarakat. Belum lagi kita nanti dikatain cupu sama negara-negara lainnya kan," ulasnya.
Argumentasinya beralasan juga sih dan saya sependapat dengannya. Banyak yang beralih ke medsos ya karena tayangan di televisi tidak lagi menarik. Ya saya saja sudah lama tidak menonton acara-acara di televisi. Apalagi tayangan yang di RCTI. Jadi, saya mendukung perjuangannya.
Studi Nielsen pada 2018 menyebutkan masyarakat menonton televisi rata-rata 4 jam 53 menit per hari, sementara menonton di internet sekitar 3 jam 14 menit. Sekarang bisa jadi lebih lama lagi.Â
Berdasarkan studi Nielsen pada 2020 pembatasan aktivitas di luar rumah selama pandemi membuat konsumen merasa lebih terikat dengan media sebagai sumber utama dalam mencari hiburan. Nielsen New Normal Survey menemukan, 98% konsumen menikmati hiburan dari berbagai platform media baik TV, radio ataupun online.