Pandangan bahwa tanah Papua "terbelakang", nyatanya saya salah besar. Di sini, warga saling duduk berdampingan meski dengan keyakinan berbeda -- Katolik, Kristen, Islam, Hindu, bahkan animisme atau dinamisme. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan rukun damai tanpa ada masalah-masalah yang berarti.
Mereka punya filosofi hidup yang selalu dipegang hingga kini yaitu: Satu Tungku, Tiga Batu. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau, saya, dan dia". Yang berarti meski ada perbedaan baik agama, suku, status sosial tetapi tetap dalam satu wadah persaudaraan.
Negara kita memang dianugerahi keberagaman yang justeru karena keberagaman inilah yang menyatukan kita dalam satu bangsa: Indonesia. Dan, ini menjadi sumber kekuatan bangsa.
Tugas kita sekarang bagaimana menjaga dan merawat keberagaman ini dari ancaman pihak-pihak yang tidak menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan yang besar dan kuat. Hari Kemerdekaan yang ke-75 harus kita jadikan momentum menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Usai beraudensi dengan Wakil Bupati, kami pun diajak makan siang di Mansinan Restoran. Di seberang Pantai Pasir Putih, tempat saya makan siang, adalah Pulau Mansinam. Pulau yang menjadi titik awal penyebaran agama Kristen di daratan Papua.Â
Sayang, kami tidak sempat menyeberang ke pulau Mansinam. Padahal hanya butuh waktu sekitar 20 menit menyeberang dan speead boad juga sudah stand by di dekat restoran. Tapi karena terdesak jadwal, tidak jadi deh. Ya kecewa sih. Suatu ketika saya akan ke sini lagi. Tunggu saya ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H