Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Toleransi ke Manokwari, Papua Barat

16 Agustus 2020   12:29 Diperbarui: 16 Agustus 2020   12:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama Wakil Bupati Manokwari, Papua Barat, Bapak Edi Budoyo (Dokpri)

Setelah menempuh perjalanan selama 4,5 jam, pesawat yang membawa saya dari Bandara Soekarno Hatta, Banten, mendarat mulus di Bandara Sentani, Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dan, selama saya tinggal di Indonesia, ini pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tanah Manokwari.

Usai mengunjungi RSUD Manokwari, PT Pelindo Manokwari, PT Taspen Manokwari, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan, bersama anggota DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) -- dr. Asih Eka Putri, MPPM, dr. Zaenal Abidin, MH, Ahmad Ansyori, SH, M.Hum, CLA, Dr. Taufik Hidayat, M.Ec, dan Subiyanto, SH, pada Rabu (18/9/2019), kami pun beraudensi dengan Wakil Bupati Manokwari, Papua Barat, Bapak Edi Budoyo, keesokan harinya.

Audensi ini untuk menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di kabupaten ini.

Saat audensi, bapak Bupati Manokwari tidak hadir karena kondisi tubuhnya yang kurang fit sepulangnya dari kunjungan dari daerah terpencil dengan pesawat kecil. Jadi, Wakil Bupati yang mewakili. Meski dalam kondisi kurang fit, kami tetap disambut dengan penuh kehangatan.

Namun, yang ingin saya ceritakan di sini bukan hasil monev, melainkan saya ingin berbagi cerita mengenai toleransi di Papua Barat, khususnya di kabupaten ini.

Dalam audensi pak Edy menyampaikan, Manokwari kini memiliki slogan sebagai "Kota Injil" yang disahkan berdasarkan Perda pada 28 Oktober 2018. Diterbitkannya perda itu karena faktor sejarah Manokwari sebagai tempat masuknya injil pertama kali di Papua, yakni di Pulau Mansinam.

Di seberang Mansinan Restoran, adalah Pulau Mansinan yang dikenal dengan Kota Injil. Yang putih itu adalah patung Yesus (Dokpri)
Di seberang Mansinan Restoran, adalah Pulau Mansinan yang dikenal dengan Kota Injil. Yang putih itu adalah patung Yesus (Dokpri)

Pada 5 Februari 1855 dua misionaris asal Belanda dan Jerman, Johann Gottlob Geissler dan Carl Willem Otto, masuk di Pulau Mansinam. Di lokasi itulah mereka mendarat pada 5 Februari 1855, setelah keluar dari Ternate atas ijin Sultan Tidore.

Meski sebagai "Kota Injil", Wakil Bupati yang beragama Islam dan Bupati Demas Paulus Mandacan yang beragama Nasrani, saat itu baru saja memberangkatkan sekitar 7 pengurus masjid untuk beribadah haji dengan biaya ONH Plus.

"Mereka bertemu dengan jamaah dari daerah lain di tanah suci yang heran mengapa Manokwari yang Kota Injil bisa memberangkatkan haji hanya dalam waktu hitungan 7 hari, sementara yang lain masih harus menunggu," ungkapnya.

Sementara yang beragama Nasrani (Katolik dan Protestan) diberangkatkan ke Yerusalem, Israel, dan Vatikan. Yang beragama Hindu diberangkatkan ke India. Semua pemeluk agama mendapatkan perhatian yang sama.

"Mungkin hanya di Manokwari, yang bupatinya beragama Nasrani tapi saat Idul Kurban menyumbangkan sekitar 100 ekor sapi untuk dikurbankan. Seorang pemimpin itu memang harus memiliki rasa belas kasih," tuturnya.

Meski Manokwari pada Agustus 2019 sempat diwarnai aksi unjuk rasa yang disertai kerusuhan -- buntut dari peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh aparat kepolisian dan tentara di beberapa tempat di Jawa Timur pada  17 Agustus 2019, namun ia memastikan Manokwari aman-aman saja.

"Aksi unjuk rasa itu tidak ada kaitannya dengan sikap intoleransi di sini karena pada dasarnya warga Papua memiliki toleransi yang tinggi. Adapun kerusuhan kemarin semuanya sudah diatasi dengan baik," tegasnya.

Dikatakan, di sini menjadi contoh kerukunan dan toleransi umat beragama. Yang dimaksud toleransi adalah menerima perbedaan. Karenanya, di sini dibangun tempat ibadah yang melingkupi semua agama. Manokwari menjadi contoh kota toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Terlebih berdasarkan hasil survei Kementerian Agama pada 2019, indeks kerukunan dan toleransi umat beragama di Papua Barat menduduki peringkat tertinggi secara nasional dengan nilai 82,1 dari nilai maksimal 100.

Dari 34 propinsi, Propinsi Papua Barat menempati urutan teratas. Dan, itu artinya, kesadaran masyarakat dalam bertoleransi di sini sudah cukup bagus maka harus dipertahankan. "Jadi, kalau mau belajar toleransi, belajarlah di sini. Karena kerukunan tidak akan terbangun jika tidak ada toleransi," katanya.

Karenanya, ia memastikan tidak ada pelarangan untuk melakukan ibadah menurut keyakinan masing-masing meski Manokwari ditetapkan sebagai Kota Injil. 

Tidak ada pelarangan pendirian masjid atau rumah ibadah lain, dan memakai jilbab. Semua itu tidak ada dalam raperda. Yang diatur hanya mengenai pembatasan kegiatan masyarakat di hari-hari yang memiliki nilai sejarah dan ibadah.

Mendengar penuturannya, saya seperti mendapatkan pencerahan tentang kedamaian dan toleransi di sini. Tidak seperti informasi yang saya dapatkan dari katanya-katanya. Saya mendapatkan penjelasan langsung dari orang pertama, bukan lagi sekedar katanya-katanya.

Saya pun memiliki kesan tersendiri di sini.  Jika sebelumnya dalam benak saya akan susah mencari masjid dan bertemu umat Islam, ternyata tidak. Banyak juga yang pakai jilbab, termasuk relasi saya. Bahkan ada masjid di Manokwari yang dibangun oleh seorang perwira menengah TNI AL yang beragama Kristen.

Pandangan bahwa tanah Papua "terbelakang", nyatanya saya salah besar. Di sini, warga saling duduk berdampingan meski dengan keyakinan berbeda -- Katolik, Kristen, Islam, Hindu, bahkan animisme atau dinamisme. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan rukun damai tanpa ada masalah-masalah yang berarti.

Mereka punya filosofi hidup yang selalu dipegang hingga kini yaitu: Satu Tungku, Tiga Batu. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau, saya, dan dia". Yang berarti meski ada perbedaan baik agama, suku, status sosial tetapi tetap dalam satu wadah persaudaraan.

Negara kita memang dianugerahi keberagaman yang justeru karena keberagaman inilah yang menyatukan kita dalam satu bangsa: Indonesia. Dan, ini menjadi sumber kekuatan bangsa.

Tugas kita sekarang bagaimana menjaga dan merawat keberagaman ini dari ancaman pihak-pihak yang tidak menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan yang besar dan kuat. Hari Kemerdekaan yang ke-75 harus kita jadikan momentum menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Usai beraudensi dengan Wakil Bupati, kami pun diajak makan siang di Mansinan Restoran. Di seberang Pantai Pasir Putih, tempat saya makan siang, adalah Pulau Mansinam. Pulau yang menjadi titik awal penyebaran agama Kristen di daratan Papua. 

Sayang, kami tidak sempat menyeberang ke pulau Mansinam. Padahal hanya butuh waktu sekitar 20 menit menyeberang dan speead boad juga sudah stand by di dekat restoran. Tapi karena terdesak jadwal, tidak jadi deh. Ya kecewa sih. Suatu ketika saya akan ke sini lagi. Tunggu saya ya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun