Kalau di wilayah saya (Kota Depok, Jawa Barat) sebelum tahun ajaran baru dimulai, pihak sekolah melakukan pemetaan. Orangtua diminta untuk mengisi kuesioner. Seingat saya ada tiga pertanyaan yang intinya ada pemetaan. Pertama, siswa yang memiliki jaringan internet/hp/laptop/komputer/zoom, belajar secara daring.
Kedua, siswa yang tidak punya fasilitas untuk pembelajaran secara daring, guru akan berkunjung ke rumah. Pemetaan juga dipersempit dengan berdasarkan domisili. Jadi siswa yang berdomisili sama akan belajar dalam satu tempat yang sama dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Khusus siswa kategori kedua, bagi saya, sebenarnya di mana saja bisa dilakukan yang penting aman. Bisa di sekolah, bisa juga di rumah. Selama semua protokol kesehatan Covid-19 yang benar diterapkan -- memakai masker, tidak berkerumum, menjaga jarak, sering mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, juga berperilaku hidup bersih dan sehat, insya Allah proses belajar aman-aman saja.
Jadi, tidak ada masalah kan dengan siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar secara daring karena guru akan memberikan pembelajaran dengan bertatap muka di rumah atau di tempat yang sudah disepakati.
***
Sebenarnya belajar di rumah, tidak asyik juga. Anak-anak tidak bisa bertemu dengan teman-temannya, saling tertawa, saling bercanda. Bagaimana pun suasana rumah dan sekolah jelas berbeda. Anak-anak juga tidak bisa bertemu gurunya untuk sekedar bertanya langsung.Â
Apalagi sebagian tugas guru untuk mengajar anak-anak sedikit "beralih" kepada orangtua. Tapi tetap saja cara mengajar guru yang benar-benar guru berbeda dengan orangtua. Dan, bagi anak-anak ya tetap lebih mengasyikkan diajar oleh guru.
Namun berhubung di wilayah saya Covid-19 belum bisa dikendalikan (ada beberapa wilayah yang zona merah) ya apa boleh buat. Saya dan para orangtua murid lainnya malah setuju jika proses belajar mengajar dilakukan secara daring. Tidak perlu ada protes.
Di sisi lain, belajar di rumah secara finansial ya "menguntungkan" saya juga. Saya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk jemputan si bungsu sebesar Rp250000 sebulan, ongkos ojek online sebesar Rp350.000 untuk dua anak saya yang kebetulan satu sekolah, dan uang "bekal" Rp1.200.000 untuk tiga anak. Keadaan ini sudah berlangsung selama 4 bulan. Jadi lumayan kan?
Yang terpenting lagi, belajar dari rumah lebih aman buat anak-anak saya. Saya tidak perlu khawatir anak-anak saya akan terpapar Covid-19. Tinggal bagaimana saya sebagai ibu yang merangkap "guru" menciptakan suasana belajar yang nyaman, menarik, dan menyenangkan bagi anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H