Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

PRT Itu "Pembantu" Rumah Tangga? Mulai Sekarang, Jangan Sebut Itu Lagi!

12 Juli 2020   11:59 Diperbarui: 12 Juli 2020   12:38 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini mbak Iyah. Sudah 9 tahun ini setia membantu saya. Sedari anak bungsu saya masih bayi merah. Atas jasanya membantu saya, ia mendapat bayaran Rp 1,5 juta sebulan. Ini ukuran standar di kompleks rumah saya. Entah di tempat yang lain. Ia menjadi PRT yang paling lama bekerja pada keluarga saya. Sebelum-sebelumnya yang lain hanya bertahan 6 bulan hingga 1 tahun.

Semula, ada dua mbak yang membantu saya. Satu mengurusi anak-anak saya, terutama si kecil, ketika saya bekerja. Satu lagi mengurusi urusan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengepel. Sayangnya, si mbak Ria, yang masih tetanggaan dengan mbak Iyah, diboyong oleh suaminya ke Aceh, menemani sang suami yang menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Ceritanya sih begitu ke saya.

Beberapa kali mendapatkan penggantinya, beberapa kali juga kerap diwarnai "pertengkaran" dengan mbak Iyah. Penyebabnya macam-macam. Katanya, si mbak "junior" banyak santainya, tidak mengurusi apa yang menjadi kewajibannya. Jadilah si mbak Iyah yang mengambil perannya.

Melihat situasi seperti ini, saya pun bertanya kepada mbak Iyah, apakah mau cari pengganti atau mau sendiri saja? Ternyata si mbak minta kerja sendiri saja. "Daripada berdua kerjaannya nggak bener, bikin kesal orang," katanya. Berulangkali saya memastikan dan menyakinkannya, ia selalu menjawab "sendiri saja".

Syukurnya saya bukan pekerja kantoran yang harus ke kantor pagi-pagi atau yang harus ke kantor setiap hari. Karena saya pekerja lapangan, jadi saya bisa mengatur jadwal saya sesuai agenda yang ditugaskan kepada saya. Saya pun punya waktu di pagi hari mengurusi anak-anak saya, menyiapkan sarapan hingga persiapan saat berangkat sekolah hingga anak-anak kini berusia 15 tahun, 13 tahun, dan 9 tahun.

Si mbak tidak menginap. Ditawari menginap ia tidak mau dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anaknya. Padahal anak-anaknya sudah besar semua. Alasan lainnya, ia punya keponakan yang harus diurusi. Rumahnya di belakang Stasiun Citayam. Jam kerjanya dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00. Tapi terkadang tidak tentu juga, tergantung situasi. Di masa pandemi Covid-19 malah pulangnya lebih cepat dari biasanya. Hari Minggu dan Hari Libur Nasional, mbak Iya pun ikut libur.

Syukurnya, karena saya pekerja lapangan, jam pulang saya pun fleksibel. Saya lebih sering sampai di rumah sebelum maghrib. Terkadang lebih cepat. Kalau saya terpaksa harus pulang malam, maka suami saya akan pulang lebih awal. Kalau suami pulang malam, maka saya yang pulang lebih awal.

Kalau saya dan suami terpaksa harus pulang malam, maka saya kadang meminta tolong ibu saya untuk menjaga anak-anak saya. Kebetulan rumah ibu saya hanya berbeda kecamatan. Jadi mbak Iyah bisa pulang sesuai jadwalnya. Tapi ini sangat jarang terjadi. Setelah anak-anak beranjak besar, anak-anak pun bisa ditinggali tanpa perlu dijaga mbak. Saya tinggal memantaunya lewat handphone.

Karena sudah lama, si mbak saya anggap seperti keluarga. Saya tidak pernah memarahinya sekalipun ada kesalahan yang dibuatnya semisal baju kesayangan saya yang baru saya beli dengan harga lumayanlah buat ukuran saya bolong terkena setrika. Atau ketika ia memecahkan tempat sayuran yang terbuat dari keramik. Kalau ia sakit, saya tidak memaksanya untuk masuk. Terkadang suami saya memberinya uang untuk berobat meski si mbak pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Menurut saya, mbak Iyah termasuk yang beruntung jika dibandingkan dengan kasus yang dialami para PRT yang lain. Banyak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti yang saya ketahui dari berita-berita. Ada juga yang mengalami penyiksaan dan upahnya tak dibayarkan. Miris, bukan?

Saya tidak tahu, kalau saya tidak dibantu oleh mbak. Mungkin urusan rumah bisa berantakan dan pusing kepala saya. Apalagi urusan rumah tidak ada berhentinya hingga malam. Ada saja yang harus dikerjakan.

***

Menjadi PRT atau pekerja rumah tangga, siapa yang mau? Pekerjaan ini sering dipandang sebelah mata. Dalam dunia kerja dan sosial masih ada sikap dan pandangan serta penghargaan kodrati perempuan yang dimarginalkan terutama sebagai Pekerja Rumah Tangga.

Dulu PRT identik dengan sebutan babu, terdengar kasar, memang. Seiring waktu, sebutannya menjadi lebih "halus" lagi menjadi pembantu rumah tangga, kemudian berubah menjadi asisten rumah tangga. 

Saya sendiri sebelumnya sering menyebutnya "pembantu" lalu beralih menjadi "asisten". Tapi ternyata penyebutan ini sudah dianggap "tidak manusiawi" lagi. Mungkin bagi mbak Iyah (dan mbak-mbak yang lain?) sebutan ini tidak terlalu penting selama ia nyaman dan diperlakukan manusiawi.

Kekinian, PRT diartikan menjadi Pekerja Rumah Tangga seiring bergulirnya RUU Perlindungan PRT, yang selama 16 tahun terus diperjuangkan oleh organisasi/LSM perempuan. Dan, besok (Senin, 13 Juli 2020) RUU PPRT ini akan dibahas di rapat paripurna DPR yang diharapkan diketok palu menjadi Undang-undang.

Terdapat sedikitnya 4,2 juta PRT yang bekerja di dalam negeri, termasuk mbak Iyah, di dalamnya. Adanya UU itu menunjukkan adanya pengakuan atas "profesi" PRT sehingga dapat mengurangi angka pengangguran, menghapus diskriminasi, eksploitasi dan perbudakan. Pengakuan ini juga menjadi jalan bagi PRT untuk bisa mengakses pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan potensi dirinya.

Giwo Rubianto Wiyogo, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) -- organasisi federasi yang memayungi 97 organisasi perempuan di seluruh Indonesia,  menekankan,  saat ini, para PRT membutuhkan payung hukum yang dapat melindungi mereka. Karenanya, ia meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT.  

Dalam pandangannya, PRT bukan lagi perbudakan jaman modern yang bekerja 24 jam mulai dari membukakan pagar hingga menjaga anak. PRT adalah profesi yang memiliki jasa yang tidak sedikit dalam pembangunan bangsa. PRT merupakan pekerjaan mulia, yang menjadi bagian integral pembangunan bangsa. Karenanya, ia mengajak semua pihak berjuang menjadikan RUU ini menjadi UU.

"Kami ingin PRT tidak ditinggalkan. Kehadiran PRT dalam kehidupan keluarga sangat penting. Karena PRT lah, banyak perempuan bisa berkarya di publik, bahkan menjadi pemimpin. Tanpa ada dukungan PRT di rumah, keluarga akan mengalami kesulitan dalam urusan domestik, apalagi bagi pasangan suami istri yang bekerja di ruang publik," tegasnya.

Komnas Perempuan sendiri menilai pengesahan RUU PPRT akan berdampak pada situasi perempuan yang lebih luas. Setidaknya dalam beberapa alasan. Pertama, memberi perlindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua pihak yaitu PRT dan Pemberi Kerja. Kedua, mengakui adanya nilai ekonomis dari kerja-kerja yang diidentikan sebagai kerja reproduktif perempuan.

Nilai ekonomis pekerjaan PRT tak hanya menopang ketahanan ekonomi keluarga pemberi kerja, tetapi juga mendukung perempuan pemberi kerja untuk berkarya secara lebih optimal di ruang publik. Ketiga, berarti adanya pengakuan dan perlindungan atas jenis pekerjaan yang saat ini didominasi oleh perempuan. Keempat, perlindungan secara konstitusional akan memberikan rasa aman bagi PRT dan Pemberi Kerja.

Karenanya, Komnas Perempuan mengajak masyarakat luas dan berbagai pihak untuk mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dan mengawasi jalannya pembahasan RUU Perlindungan PRT di DPR RI.

Saya pribadi sependapat perlindungan PRT menjadi hal yang penting, terlebih ketika mayoritas PRT ini adalah perempuan. Kelompok yang paling rentan akan berbagai macam kasus kekerasan seksual dan perbudakan yang acap kali disoroti oleh media internasional maupun nasional. PRT adalah pekerjaan yang mempunyai hak yang sama seperti hak pekerja lainnya. Salah satu haknya adalah bekerja di tempat kerja yang bebas akan pelecehan seksual, aman, dan nyaman.

Terlebih melindungi para PRT ini menjadi amanah dari sila kedua dan kelima Pancasila yaitu "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" dan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" serta amanah konstitusi Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

Apakah dengan "disahkannya" RUU PPRT ini menjadi UU, profesi PRT mendapat tempat di hati para pencari kerja? Bisa jadi demikian. Terlebih di saat orang-orang banyak yang harus kehilangan pekerjaan di situasi wabah Covid-19.

Apalagi UU ini menempatkan posisi PRT lebih "terhormat" dibanding sebelum-sebelumnya. PRT kini sudah sebagai satu profesi, seperti profesi lainnya. Semoga saja dengan adanya perlindungan secara hukum para PRT juga kian terlindungi dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun