Rabu (9/7/2020) sore itu, tuntas sudah agenda pertemuan yang saya hadiri di Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang berada di jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Tak begitu jauh dari Pasar Mampang.
Pertemuan yang membahas perkembangan pelaksanaan program digitalisasi SPBU oleh PT Pertamina, itu hanya berlangsung 1,5 jam. Karena setelahnya tidak ada agenda lagi yang berkaitan dengan pekerjaan, saya memutuskan untuk pulang.
Saya dan kawan saya memutuskan naik bus TransJakarta rute Blok M - Kp Melayu. Rencananya, saya turun di Stasiun Duren Kalibata, lalu lanjut naik kereta ke arah Stasiun Bogor, lantas turun di stasiun tujuan saya: Stasiun Citayam.
Setelah menunggu selama 30 menit, bus TJ yang dinanti pun tiba. Sayang, petugas hanya memperkenankan satu orang saja yang masuk. Padahal ada sekitar 5 penumpang yang ingin menggunakan moda transportasi itu yang bersama saya menunggu di shelter.
"Satu aja ya, Bu," kata petugas pria itu sambil mengangkat telunjuknya yang menunjukkan angka satu.
Mungkin maksudnya untuk membatasi jumlah penumpang sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19. Sampai saat ini, pemerintah memang masih membatasi jumlah penumpang 50 persen dari biasanya.
Sebagaimana yang saya ketahui PT TransJakarta akan tetap membatasi jumlah penumpang, maksimal 50 persen. Jumlah tersebut sesuai arahan Gubernur di masa PSBB transisi yang membatasi angkutan umum di Jakarta hanya mengangkut setengah dari kapasitas kendaraan.
Arahan Gubernur itu terkait dengan Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan pada tanggal 8 Juni 2020.
Meski sudah dirayu agar boleh dua penumpang yang naik, petugas tetap meminta hanya satu yang naik. Jadilah kawan saya yang naik karena ia yang paling dekat dengan petugas. "Ya...butet, gue duluan ya," katanya sambil memasuki bus TJ.Â
Saya mempersilakannya. Tidak mungkin juga kan saya memintanya bersama saya biar bisa "senasib sepenanggungan". Tidak mungkin juga saya marah-marah karena petugas memisahkan saya dan kawan saya.
"Ya...alamat nunggu lama lagi ini," kata penumpang yang lain. Saya pun kembali menunggu antara Metromini 75 rute Blok M - Pasar Minggu atau bus TJ. Tergantung duluan mana yang tiba. Beberapa menit kemudian, Metromini 75 lewat dan saya pun memberhentikannya.
Angkutan ini termasuk "langka" karena jumlah armadanya yang kian sedikit, "tergerus" oleh keberadaan bus TransJakarta. Jadi bisa dimaklumi, jika menunggunya agak lama. Butuh kesabaran ekstra. Hanya pejuang-pejuang tangguh yang mampu menaikinya.
Dalam situasi seperti ini, posisi metromini kian sulit. Sebelum pandemi Covid-19 saja hidupnya mulai kembang kempis, bagaimana di saat situasi bencana Covid-19? Meski banyak pegawai yang sudah mulai beraktivitas di era new normal, tetap saja penumpangnya sepi.
Menggaet penumpang para pelajar di tahun ajaran baru 2020/2021 dalam situasi seperti ini juga tidak bisa diharapkan. Selain banyak yang beralih menggunakan ojek online, tidak sedikit pelajar yang membawa kendaraan sendiri (motor). Jadi semakin lesu. Terlebih proses belajar mengajar masih dilakukan secara daring.
Metromini yang saya naiki tanpa kernet. Lantainya kusam. Masih panas seperti biasa sampai saya kembali berkesempatan "mandi sauna gratis" di sini. Padahal penumpangnya hanya sedikit.
Tidak ada pembatasan penumpang juga. Setidaknya, tidak ada tanda silang pada tempat duduk sebagaimana yang saya lihat di kereta atau bus TJ. Tidak dibatasi saja sepi, bagaimana jika dibatasi?
Saya hitung, sampai saya turun di Pasar Minggu, jumlah penumpang tidak sampai ada 10. Jika satu penumpang tarifnya Rp 4 ribu berarti supir hanya mengantongi uang kurang dari Rp 40 ribu.
Saya tidak tahu dalam sehari ia bisa mengantongi berapa dalam kondisi terjepit begini. Entah berapa banyak uang yang bisa ia bawa pulang. Yang pasti tidak setebal masa jaya-jayanya dulu.
Supirnya masih muda. Wajahnya agak legam, mungkin terbakar sinar matahari atau karena menahan beban hidup yang kian berat. Tapi saya salut melihatnya. Dia tetap bekerja seperti biasa. Kembali bekerja mengais rejeki untuk keluarganya atau setidaknya menyambung hidupnya.
Nasib metromini yang makin tersingkirkan ternyata tidak membuatnya tumbang. Meski pendapatannya dari menjadi sopir metromini tidak pernah menjanjikan, dirinya terus melakoni profesi juru mudi angkutan yang sudah usang itu. Entah karena tak ada pilihan lain melawan kerasnya Jakarta.
"Ya dapat uang untuk makan aja itu udah cukuplah," katanya ketika saya mengajaknya berbincang di akhir tujuan seraya membayar ongkos. Ia menyadari minat masyarakat untuk naik metromini kian turun, tapi tak ada yang bisa dia perbuat. Selama masih ada penumpang yang naik, ia tetap menjalani profesinya itu.
Bagaimana peminatnya tidak beralih ke angkutan umum massal. Perbandingan tarifnya saja lebih murah dengan fasilitas yang cukup memadai yang ditawarkan TransJakarta.
Dengan tarif Rp 3.500 (bahkan ada yang gratis seperti yang saya sering naiki) masyarakat sudah nyaman: AC, bersih, ada jalur khusus, dan bisa pindah rute tanpa harus membayar lagi sambil keliling-keliling Jakarta. Dibandingkan dengan metromini, jelas bedalah. Belum lagi "todongan" pengamen dan pencopet yang menyaru jadi penumpang. Bikin jantung dag dig dug kencang.
Posisi metromini yang kian terimpit menyusul Pemprov DKI Jakarta lewat PT Transportasi Jakarta --badan usaha milik DKI Jakarta, yang terus memperbarui dan menambah halte. Koridor juga diperbanyak. Belum lagi kenyamanan yang ditawarkan ojek online dengan beragam fiturnya.
Dengan banyaknya pilihan moda transportasi di Jakarta apakah keberadaan metromini akan terus ada? Apakah dengan kondisi yang semakin lapuk dan usang termakan zaman metromini tetap melenggang di jalanan?
Ya begitulah kehidupan kian keras. Jelas saya harus bersyukur karena saya tidak harus "banting tulang" untuk menghidupi keluarga saya. Saya hanya bisa berdoa dan memberikan semangat: Selamat bekerja (kembali)
Senja pun kian larut, dilalui demi banyak perut, meski dahinya yang kusam berkerut, tak terlihat wajahnya cemberut, oleh lelah yang kian carut marut...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H