Angkutan ini termasuk "langka" karena jumlah armadanya yang kian sedikit, "tergerus" oleh keberadaan bus TransJakarta. Jadi bisa dimaklumi, jika menunggunya agak lama. Butuh kesabaran ekstra. Hanya pejuang-pejuang tangguh yang mampu menaikinya.
Dalam situasi seperti ini, posisi metromini kian sulit. Sebelum pandemi Covid-19 saja hidupnya mulai kembang kempis, bagaimana di saat situasi bencana Covid-19? Meski banyak pegawai yang sudah mulai beraktivitas di era new normal, tetap saja penumpangnya sepi.
Menggaet penumpang para pelajar di tahun ajaran baru 2020/2021 dalam situasi seperti ini juga tidak bisa diharapkan. Selain banyak yang beralih menggunakan ojek online, tidak sedikit pelajar yang membawa kendaraan sendiri (motor). Jadi semakin lesu. Terlebih proses belajar mengajar masih dilakukan secara daring.
Metromini yang saya naiki tanpa kernet. Lantainya kusam. Masih panas seperti biasa sampai saya kembali berkesempatan "mandi sauna gratis" di sini. Padahal penumpangnya hanya sedikit.
Tidak ada pembatasan penumpang juga. Setidaknya, tidak ada tanda silang pada tempat duduk sebagaimana yang saya lihat di kereta atau bus TJ. Tidak dibatasi saja sepi, bagaimana jika dibatasi?
Saya hitung, sampai saya turun di Pasar Minggu, jumlah penumpang tidak sampai ada 10. Jika satu penumpang tarifnya Rp 4 ribu berarti supir hanya mengantongi uang kurang dari Rp 40 ribu.
Saya tidak tahu dalam sehari ia bisa mengantongi berapa dalam kondisi terjepit begini. Entah berapa banyak uang yang bisa ia bawa pulang. Yang pasti tidak setebal masa jaya-jayanya dulu.
Supirnya masih muda. Wajahnya agak legam, mungkin terbakar sinar matahari atau karena menahan beban hidup yang kian berat. Tapi saya salut melihatnya. Dia tetap bekerja seperti biasa. Kembali bekerja mengais rejeki untuk keluarganya atau setidaknya menyambung hidupnya.
Nasib metromini yang makin tersingkirkan ternyata tidak membuatnya tumbang. Meski pendapatannya dari menjadi sopir metromini tidak pernah menjanjikan, dirinya terus melakoni profesi juru mudi angkutan yang sudah usang itu. Entah karena tak ada pilihan lain melawan kerasnya Jakarta.
"Ya dapat uang untuk makan aja itu udah cukuplah," katanya ketika saya mengajaknya berbincang di akhir tujuan seraya membayar ongkos. Ia menyadari minat masyarakat untuk naik metromini kian turun, tapi tak ada yang bisa dia perbuat. Selama masih ada penumpang yang naik, ia tetap menjalani profesinya itu.