Menikah tanpa cinta saja, rasanya sudah luar biasa menguras air mata. Bagaimana dengan menikah karena dipaksa? Terlebih si calon istri diculik dulu baru dinikahkan. Hati siapa yang tidak remuk redam? Pernikahan "kawin tangkap" yang katanya sudah menjadi tradisi. Ah, pernikahan macam apa ini?!Saya tidak bisa membayangkan jika ini terjadi pada anak-anak saya yang kebetulan perempuan semua, atau keponakan-keponakan saya, atau anak rekan-rekan saya,  atau tetangga saya. Bergidik rasanya hati ini. Di jaman modern seperti ini masih ada tradisi semacam itu?
***
"Tety, perempuan diculik dan dipaksa nikah dengan laki-laki nggak dikenal dianggap wajar di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Aksi ini terkenal dengan sebutan kawin tangkap," begitu surat pembuka yang saya terima di email saya, yang dikirim Badan Pengurus Nasional PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia), tiga hari lalu.
Terbayang tidak, tiba-tiba saja ada sekelompok laki-laki datang ke rumah, terus anak atau saudara perempuan kita dibawa dan tinggal di rumah salah satu laki-laki tersebut berhari-hari, dan dipaksa menikah. Padahal kamu sendiri tidak begitu kenal dengan si laki-laki. Tidak sedikit perempuan di Sumba yang mengalami itu.
Tahun 2017, seorang perempuan dari Sumba Tengah (28 tahun) ditangkap dan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Saat itu ia berteriak menolak, meronta-ronta, menangis. Saking putus asanya, ia sampai menampar dan menggigit tangan si laki-laki. Setelah pihak keluarga perempuan bernegosiasi panjang, barulah ia bisa bebas usai ditahan selama 6 hari. Peristiwa ini tentu meninggalkan bekas trauma mendalam bagi perempuan.
Pada Desember 2019, seorang perempuan di Anakalang, Sumba Tengah, juga diculik. Ada 7 laki-laki memaksanya masuk ke mobil pick up. Ia sempat meronta namun tidak ada yang menolong. Pihak keluarga perempuan akhirnya berhasil menjemput korban dan menggagalkan pernikahan itu.
Yang terbaru, Juni 2020, ada lagi praktik kawin tangkap di Anakalang. Seorang perempuan (21 tahun) ditangkap di rumah tetangganya. Korban juga berteriak dan meronta namun tidak dihiraukan. Walaupun pada akhirnya terdengar kabar bahwa keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri.
"Gimana perasaanmu kalau jadi perempuan atau punya saudara perempuan yang kena kawin tangkap di Sumba?" tulisnya.
Banyak perempuan jadi korban dan terpaksa menikah dengan penculiknya. Kejahatan ini dianggap wajar dengan dalih tradisi. Korban-korban kawin tangkap pun tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya.
Melalui surat itu, ia pun meminta saya untuk menandatangani petisi. "Kami ingin mengajakmu Tety untuk mendorong Gubernur Nusa Tenggara, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat agar mengeluarkan Aturan Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba, sehingga jika ada yang masih melakukannya dapat diproses secara hukum," terangnya.
Sayangnya, praktik ini masih dianggap wajar di Sumba dengan dalih bagian dari tradisi yang dinamakan Kawin Tangkap. Padahal, jika dilihat faktanya beberapa praktik Kawin Tangkap di Sumba menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan.
Korban-korban kawin tangkap tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya. Pelaku pun tidak dapat diproses secara hukum dan dapat bebas begitu saja. Karena itu, diperlukan adanya peraturan yang melarang praktik kawin tangkap agar korban mendapatkan perlindungan dan pelaku dihukum sehingga menimbulkan efek jera.
Kalau ada aturan hukum yang melarang praktik kawin tangkap ini, pelakunya bisa dihukum sehingga ada efek jera. Perempuan yang jadi korban pun dapat perlindungan sehingga tidak terpaksa menikah dengan lelaki asing.
Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni sudah pernah meminta, praktik 'kawin tangkap' di Pulau Sumba harus dihentikan, tapi praktik ini masih terus berjalan. Menurutnya, bisa saja praktik kawin tangkap di Sumba itu tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak, karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat 'diculik'.
Praktik kawin tangkap, menurut saya, adalah  tindakan kekerasan terhadap perempuan karena tubuh perempuan dikontrol dan dijadikan objek seksual laki-laki. Dan, ini juga jelas-jelas melanggar Hak Asasi Perempuan seperti tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 7 tahun 1984. Praktik-praktik yang sangat memprihatinkan seperti ini harus segera dihentikan di Indonesia.
Mendapat Respon Menteri Bintang
Ia sampai harus terbang ke Sumba, Kamis (2/7/2020), untuk mendengar secara langsung dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah. Menteri Bintang pun meminta semua pihak bersama-sama mencari solusi atau upaya terbaik untuk menghentikan segala bentuk tindakan kekerasan yang merugikan perempuan dan anak, termasuk kasus penculikan di Pulau Sumba yang saat ini tengah viral di media sosial.
"Upaya ini akan kita awali dengan komitmen dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba," ujar Menteri Bintang, yang dalam pertemuan itu juga mendengarkan pandangan beraneka segi tentang perkawinan adat Sumba.
Menteri Bintang menuturkan kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia. Perlu ada langkah konkret untuk menghentikan agar hal serupa tidak terulang lagi.
Strategi utama untuk melawan konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak adalah dengan memahami dan mempelajari budaya setempat serta memberikan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dan anak. Dengan lebih memahami budaya dan kearifan-kearifan lokal terkait pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, strategi yang dibangun akan lebih tajam, terarah, dan berjangka panjang.
Dalam pertemuan itu, para tokoh adat menyampaikan sesungguhnya betapa masyarakat Sumba sangat memuliakan kaum perempuan. Mereka secara tegas menolak membawa lari perempuan untuk dinikahi atau yang dipersepsikan sebagai kawin tangkap dianggap sebagai wujud nilai-nilai adat dan budaya Sumba.
Menteri Bintang juga mendengarkan kesaksian dari salah satu penyintas yang berhasil melepaskan diri dari rumah pihak laki-laki setelah sebelumnya ditangkap dan disekap di rumah laki-laki yang akan mengawininya. Pada akhir pertemuan, Menteri Bintang menyaksikan seluruh komponen masyarakat dan pimpinan daerah Kabupaten Sedaratan Sumba serta Wakil Gubernur NTT menandatangani nota kesepahaman "Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba".
"Penandatanganan nota kesepahaman ini bukan hasil akhir pertemuan melainkan menjadi awal dari rencana aksi yang akan dilakukan ke depan melalui kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah," harap Menteri Bintang.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut Bupati Kabupaten Sumba Tengah, Paul Kira Limu, Bupati Kabupaten Sumba Barat, Agustinus Niga Dapawole, dan Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete untuk menandatangani nota kesepahaman "Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba" antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba.
Kawin Tangkap Bukan Tradisi Sumba
"Saya sangat menyayangkan anggapan kawin tangkap sebagai budaya Sumba setelah viral video penangkapan perempuan secara paksa lalu mulai dibilang bahwa itu adalah kawin tangkap. Seolah-olah istilah kawin tangkap adalah kosakata baku yang berkaitan dengan budaya Sumba,'' ungkap Pendeta Yuli.
Pada dahulu kala memang ada budaya sumba yang disebut Plaingidi, akan tetapi ada ikatan antara kedua belah pihak sehingga mereka dijodohkan dan kemudian melaksanakan perkawinan. "Jadi saya tegaskan, bahwa orang Sumba sendiri tidak mengenal kawin tangkap."
Ada beberapa hal yang menjadi catatan perhatian kita, di antaranya perlu ada pemahaman yang utuh tentang budaya perkawinan di Sumba termasuk unsur yang terkait dengan budaya tersebut. Perlu dilakukan pengkajian pemakaian pemahaman istilah.
"Dan tidak lagi memakai istilah kawin tangkap karena merupakan bentuk pelanggaran budaya perkawinan orang sumba sebab mengandung kekerasan fisik," tambah Pendeta Yuli.
Lebih lanjut, Tokoh Adat Sumba Tengah, Andreas mengungkapkan pada 30 Juni 2020 tokoh adat dan tokoh agama di Kabupaten Sumba Tengah mengadakan pertemuan dan sepakat untuk dengan tegas menolak istilah kawin tangkap.
"Kami hanya mengenal istilah Plaingi di dalam budaya sumba, itupun dilakukan dengan tetap menghargai dan menjunjung tinggi martabat perempuan dalam hal perkawinan," tuturnya.
Leluhur Sumba mewariskan budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban, terutama menghargai perempuan dan seorang ibu. Istilah yang disebutkan kawin tangkap sebagai bagian dari budaya Sumba dirasa sangat tidak pas, karena budaya sumba dengan jelas menempatkan harkat dan martabat perempuan sumba," tandas Andreas.
Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Josef Nae mengatakan kasus penculikan yang terkena degradasi dan tersebar melalui media sosial sehingga tersebar ke seluruh Indonesia bukan merupakan nilai budaya Sumba. "Kami akan merumuskan suatu konsiderasi bersama dengan para Bupati Sedaratan Sumba, tokoh adat Sumba, tokoh agama, kepolisian, dan masyarakat Sumba untuk mengembalikan nilai budaya Sumba yang tercoreng akibat kasus penculikan yang berkedok budaya Sumba.
"Kami orang Sumba menyakini betul bahwa nenek moyang kami mewarisi nilai budaya yang memuliakan dan melindungi perempuan. Karena itu, kami tidak setuju dengan kasus penculikan yang dianggap sebagai bagian dari nilai budaya Sumba," ujar Josef Nae.
Pelaku Kawin Tangkap Harus Dijerat Hukum
Kesepakatan bersama dalam pertemuan ini ialah memandang peristiwa semacam itu jelas sebuah tindakan kejahatan bukan praktik kawin adat. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum harus mengambil tindakan tegas, terutama bila korban masih usia anak. Unsur Kepolisian Sumba Timur yang juga hadir menegaskan bahwa pasal kejahatan tentang tindakan tersebut sudah jelas dan akan segera bertindak bila ada pengaduan tentang tindakan bawa lari tersebut.
Menteri Bintang berharap agar dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tersebut dapat memperkuat komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak dari ancaman tindakan bawa lari serta menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai yang memuliakan perempuan dalam adat Sumba. Menteri Bintang juga meminta agar seluruh Kabupaten Sedaratan Sumba segera membentuk P2TP2A sebagai wujud komitmen daerah.Â
Syukurlah pemerintah pusat cepat turun tangan, mencari solusi terbaik. Terlebih para tokoh adat Sumba sudah memastikan jika "kawin tangkap" bukan tradisi Sumba. Karenanya, pelaku yang melakukan kejahatan penculikan dan memaksa pernikahan dengan berkedok "tradisi" harus ditangkap dan diproses secara hukum. Â Ah, lega saya. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H