Korban-korban kawin tangkap tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya. Pelaku pun tidak dapat diproses secara hukum dan dapat bebas begitu saja. Karena itu, diperlukan adanya peraturan yang melarang praktik kawin tangkap agar korban mendapatkan perlindungan dan pelaku dihukum sehingga menimbulkan efek jera.
Kalau ada aturan hukum yang melarang praktik kawin tangkap ini, pelakunya bisa dihukum sehingga ada efek jera. Perempuan yang jadi korban pun dapat perlindungan sehingga tidak terpaksa menikah dengan lelaki asing.
Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni sudah pernah meminta, praktik 'kawin tangkap' di Pulau Sumba harus dihentikan, tapi praktik ini masih terus berjalan. Menurutnya, bisa saja praktik kawin tangkap di Sumba itu tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak, karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat 'diculik'.
Praktik kawin tangkap, menurut saya, adalah  tindakan kekerasan terhadap perempuan karena tubuh perempuan dikontrol dan dijadikan objek seksual laki-laki. Dan, ini juga jelas-jelas melanggar Hak Asasi Perempuan seperti tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 7 tahun 1984. Praktik-praktik yang sangat memprihatinkan seperti ini harus segera dihentikan di Indonesia.
Mendapat Respon Menteri Bintang
Ia sampai harus terbang ke Sumba, Kamis (2/7/2020), untuk mendengar secara langsung dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah. Menteri Bintang pun meminta semua pihak bersama-sama mencari solusi atau upaya terbaik untuk menghentikan segala bentuk tindakan kekerasan yang merugikan perempuan dan anak, termasuk kasus penculikan di Pulau Sumba yang saat ini tengah viral di media sosial.
"Upaya ini akan kita awali dengan komitmen dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba," ujar Menteri Bintang, yang dalam pertemuan itu juga mendengarkan pandangan beraneka segi tentang perkawinan adat Sumba.
Menteri Bintang menuturkan kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia. Perlu ada langkah konkret untuk menghentikan agar hal serupa tidak terulang lagi.
Strategi utama untuk melawan konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak adalah dengan memahami dan mempelajari budaya setempat serta memberikan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dan anak. Dengan lebih memahami budaya dan kearifan-kearifan lokal terkait pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, strategi yang dibangun akan lebih tajam, terarah, dan berjangka panjang.
Dalam pertemuan itu, para tokoh adat menyampaikan sesungguhnya betapa masyarakat Sumba sangat memuliakan kaum perempuan. Mereka secara tegas menolak membawa lari perempuan untuk dinikahi atau yang dipersepsikan sebagai kawin tangkap dianggap sebagai wujud nilai-nilai adat dan budaya Sumba.