Tadi siang, jadwal kontrol saya ke RS Hermina Depok. Tapi berhubung di daerah saya, ojek online belum diperbolehkan membawa penumpang, saya pun memutuskan naik angkot (angkutan perkotaan). Biasanya saya menggunakan transportasi ojek online.
Ini bukan kali pertama saya naik angkot. Karena saya kontrol tiap bulan, berarti saya sudah naik angkot 4 kali di masa pandemi Covid-19, ditambah 3 kali saat saya ambil raport anak-anak, plus 3 kali saat saya mengunjungi rumah orangtua saya. Kalau ditotal 20 kali naik angkot PP.
Seperti biasa, angkot yang saya naiki sepi penumpang. Karena sepi, seperti biasa saya suka bertanya kepada pengemudi, apakah akan berbelok melewati tujuan saya? Soalnya angkot D05 yang saya naiki dari depan kompleks rumah tujuan akhirnya Terminal Depok, berbeda jalur jika ke RS Hermina Depok.
"Liat nanti ya bu, kalo sepi saya belok ke jalan Pemuda," jawab supir, jawaban yang sama dengan episode sebelumnya. "Ok mas," kata saya. Kalau angkot melewati tujuan saya, berarti saya tinggal menyeberang. Kalau tidak, saya berganti angkot atau berjalan kaki. Ya kira-kira butuh waktu 15 menitlah. Ini termasuk dekat menurut saya.
Meski abang supir sudah "ngetem", dan selama perjalanan tengok kanan tengok kiri, penumpang ya saya sendiri. Saya serasa naik angkot pribadi milik saya. Ya bisa dimaklumi, di tengah Covid-19, sangat jarang orang ke luar rumah, meski sekarang musim libur panjang anak sekolah. Jalanan yang saya lewati juga tidak seramai biasanya.
Selama pandemi, dalam perbincangan saya dengan supir, ia mengaku pendapatannya turun drastis. Uang setoran memang sih dikurangi sedikit, tapi tetap saja susah untuk mengumpulkan uang setoran "sebanyak" itu. Terlebih pas rute balik penumpang juga sepi. Belum lagi pengeluaran lain yang menyangkut angkot.
Dirinya saat ini hanya bisa mendapat uang Rp30.000 per hari yang biasanya bisa hingga Rp90.000. Kadang ia hanya bisa membawa pulang uang Rp10.000 saja. "Apa, 10 ribu?" tanya saya tak percaya. "Ya paling makan mie lagi," kata lelaki beristri dengan anak satu ini.Â
Tak terbayang juga ya kalau saya tidak naik angkot. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang? Tapi ia bersyukur, istrinya bisa memaklumi kondisi ini. Tidak marah-marah layaknya cerita di sinema layar kaca. Entah apa jadinya keberlangsungan rumah tangga yang dirajutnya jika istrinya tidak memahami keadaannya?
Oh iya, selama ini dia mengaku belum pernah mendapatkan bantuan sosial baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah kota Depok. Tapi ia tak bisa terlalu berharap untuk itu. "Susah diharepin," katanya. Mendengar penuturannya, saya jadi kasihan. Saya pun bersyukur, keadaan saya masih lebih baik.
Sebelum ada pandemi saja, pendapatan mereka tidak maksimal. Keadaan kian diperparah setelah ada pandemi hingga ada pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di Depok saja masa berlaku PSBB diperpanjang. Sementara, masuk tahun ajaran baru 2020/2021 anak sekolah masih belajar dari rumah. Bisa terbayang kan betapa susahnya mencari uang?
Karena penumpang sepi, saya pun akhirnya "diantar" supir dan berhenti di depan RS Hermina. "Terima kasih bang," kata saya seraya memberikan ongkos yang saya lebihkan dari tarif biasanya dan berdoa dalam hati agar si abang dimudahkan segala urusannya, dilancarkan rezekinya, disehatkan badannya. Karena jalanan lengang, saya pun leluasa menyeberang. Saya sampai deh di rumah sakit.
Begitulah laporan saya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H