Â
Bagaimana rasanya dokter berhadapan langsung dengan pasien positif Covid-19? Apakah tidak ada kekhawatiran? Saya sebagai orang awam saja "ngeri-ngeri sedap". Jangankan bersentuhan langsung, untuk ke luar rumah saja saya sudah takut duluan: takut tertular!
Bagaimana tidak? Covid-19 ini kan begitu mudah menulari. Yang saya takuti jika saya terkena Covid-19 akan menulari suami dan anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Ini adalah sesuatu yang "mengerikan". Begitu dalam bayangan saya.
Tapi ini ada lho manusia berhati mulia yang mau menjadi relawan. Tidak tanggung-tanggung relawan medis Covid-19! Yang artinya, mereka harus siap melayani pasien Covid-19 hingga sembuh. Siapa mereka? Ya para dokter atau tim medis.
Mereka rela menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk merawat pasien Covid-19. Bukan satu pasien yang ditangani, tapi bisa hingga ratusan. Entah bagaimana rasanya? Dag dig dug kah? Mengingat Covid-19 ini belum ditemukan vaksinnya.
Karena penasaran, saya pun mengikuti pertemuan daring bertajuk "Suka Duka Relawan Medis Covid 19", Senin (15/6/2020). Saya kebetulan diundang oleh dr. Zaenal Abidin, mantan Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mantan Ketua Umum PB IDI, juga mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Pertemuan yang juga berisikan diskusi itu diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK), Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Komunitas Literasi Gizi (KoaLizi), dan Departemen Kesehatan BPP Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.
Ada empat dokter yang dihadirkan untuk bercerita suka dukanya menjadi relawan Covid-19, yaitu dr. Abdul Azis, Sp.U (Ketua Satgas Covid 19 Wilayah Sulawesi Selatan), dr. Hartati B. Bangsa (Koordinator Medis RSCD Wisma Atlet), dr. Muh. Fachrurrozy Basalamah (Relawan Medis RSCD Wisma Atlet), dan dr. Rani Septiani (Survivor Covid 19).
Pengalaman dr. Hartati B. Bangsa, yang akrab disapa dr. Tati, cukup menarik untuk diikuti. Rupanya ia menjadi relawan dokter sipil pertama yang bergabung bersama personil TNI dan Polri sebagai relawan medis Covid-19 di RSCD Wisma Atlet Kemayoran.
"Saya ingat betul, saat diresmikan pada 23 Maret 2020, pukul 18.00 WIB kurang lebih 250 pasien mengantri untuk diberikan layanan. Hari kedua sebanyak 300 pasien. Yang paling berat adalah menguatkan mental pasien sementara mental kami sendiri down," tutur perempuan berhijab ini.
Bisa dipahami mengapa mental para dokter saat itu down. Karena kala itu, jumlah dokter masih sedikit, terbagi dalam 5 tim. Setiap tim berjumlah 5 - 6 orang. Jumlah pasien dalam satu lantai berkisar 50-60 orang, dengan lima orang dokter.
"Beratnya" menjadi dokter relawan ketika di RSCD Wisma Atlet ketika ia harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang cukup lama. Bukan hanya delapan jam tapi sampai 16 jam karena kondisi pasien tidak berhenti masuk dan harus dilayani. Berat badannya pun sempat susut hingga 8 kg hanya dalam waktu 10 hari.
Ia juga menerima sampai 200 panggilan telepon perhari dari keluarga, teman dan kerabat. Yang paling terkesan adalah jiwa mengabdi, jiwa kemanusiaan untuk memanusiakan manusia dan tidak ingin melihat orang kesusahan.
Meski "berat" untuk dilalui, dr. Tati ingin kembali menjadi relawan covid-19. Tidak ada pilihan baginya menolak untuk kembali karena jiwa pengabdian yang dimiliki dan mengikuti tugas profesi sebagai dokter. Ia tidak pernah membayangkan ada tidaknya jaminan insentif. "Semua murni dilakukan demi kemanusiaan," tegasnya.
"Bedanya kali ini melawan bencana tak terlihat bahkan akhir dari bencana ini, kita pun tidak ada yang tahu, sehingga membuat para relawan Covid 19 harus bekerja ekstra termasuk saya. Namun, bencana Covid-19 ini menjadi hal yang berharga bagi saya karena saya bisa membantu masyarakat. Ini sudah menjadi pilihan saya dan dengan tekad yang kuat," katanya.
Semula, orangtuanya keberatan tapi ia berusaha menyakinkan orangtuanya jika itu menjadi tugasnya. Dan, Alhamdulillah seiring berjalannya waktu kedua orangtuanya sudah bisa menerima karena ini tanggung jawabnya sebagai dokter yang telah disumpah sebagai dokter.
Awal-awalnya, ia juga diliputi ketakutan saat menghadapi pasien positif Covid-19 mengingat "musuh" yang dihadapi tidak terlihat mata. Motivasi yang kuat yang membuatnya masih bertahan sampai sekarang. Semangat dari dalam diri untuk membantu mereka sampai sembuh dari covid-19. Â
Untuk menghilangkan rasa bosan, setiap jaga ia meluangkan waktunya dengan berdialog, bercerita, dan menyemangati setiap pasien dengan jarak 4-5 meter. "Saya semakin bersemangat dan sangat senang ketika melihat pasien sembuh dan keluar dari RSDC Wisma Atlet ini," tuturnya.
Selama menjadi relawan, ya, ia pernah merasakan down karena memang kondisinya menurun drastis. Mungkin karena kurang istirahat, tapi Alhamdulillah hal tersebut tidak membuatnya mundur sedikit pun. Ia tetap bersemangat berjuang melawan badai ini.
Sementara dr. Abdul Azis, Sp.U, mengaku tidak ada duka dalam menjadi relawan, semua dilaluinya dengan rasa suka. "Karena kita bergerak dalam bingkai keikhlasan dan karena ada perniagaan untuk akhirat yang dikejar," tutur drAziz yang kerap juga menjadi relawan bencana di wilayahnya, di Sulawesi Selatan sana. Namun, ia juga menyadari banyak hal yang membuat kendala bagi relawan. Di antaranya adalah edukasi yang kurang massif dan kebijakan dari pemerintah yang simpang siur.
Mendengar penuturan para relawan ini saya hanya bisa bilang salut dan angkat jempol dua jari saya. Semoga Allah yang Mahabaik membalas kebaikan para relawan ini dengan kebaikan yang berkali-kali lipat, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga juga Allah senantiasi melindungi para relawan dari marabahaya, selalu dalam keadaan sehat wa'alfiat sehingga bisa merawat mereka-mereka yang terpapar serangan Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H