Ia juga menerima sampai 200 panggilan telepon perhari dari keluarga, teman dan kerabat. Yang paling terkesan adalah jiwa mengabdi, jiwa kemanusiaan untuk memanusiakan manusia dan tidak ingin melihat orang kesusahan.
Meski "berat" untuk dilalui, dr. Tati ingin kembali menjadi relawan covid-19. Tidak ada pilihan baginya menolak untuk kembali karena jiwa pengabdian yang dimiliki dan mengikuti tugas profesi sebagai dokter. Ia tidak pernah membayangkan ada tidaknya jaminan insentif. "Semua murni dilakukan demi kemanusiaan," tegasnya.
"Bedanya kali ini melawan bencana tak terlihat bahkan akhir dari bencana ini, kita pun tidak ada yang tahu, sehingga membuat para relawan Covid 19 harus bekerja ekstra termasuk saya. Namun, bencana Covid-19 ini menjadi hal yang berharga bagi saya karena saya bisa membantu masyarakat. Ini sudah menjadi pilihan saya dan dengan tekad yang kuat," katanya.
Semula, orangtuanya keberatan tapi ia berusaha menyakinkan orangtuanya jika itu menjadi tugasnya. Dan, Alhamdulillah seiring berjalannya waktu kedua orangtuanya sudah bisa menerima karena ini tanggung jawabnya sebagai dokter yang telah disumpah sebagai dokter.
Awal-awalnya, ia juga diliputi ketakutan saat menghadapi pasien positif Covid-19 mengingat "musuh" yang dihadapi tidak terlihat mata. Motivasi yang kuat yang membuatnya masih bertahan sampai sekarang. Semangat dari dalam diri untuk membantu mereka sampai sembuh dari covid-19. Â
Untuk menghilangkan rasa bosan, setiap jaga ia meluangkan waktunya dengan berdialog, bercerita, dan menyemangati setiap pasien dengan jarak 4-5 meter. "Saya semakin bersemangat dan sangat senang ketika melihat pasien sembuh dan keluar dari RSDC Wisma Atlet ini," tuturnya.
Selama menjadi relawan, ya, ia pernah merasakan down karena memang kondisinya menurun drastis. Mungkin karena kurang istirahat, tapi Alhamdulillah hal tersebut tidak membuatnya mundur sedikit pun. Ia tetap bersemangat berjuang melawan badai ini.
Sementara dr. Abdul Azis, Sp.U, mengaku tidak ada duka dalam menjadi relawan, semua dilaluinya dengan rasa suka. "Karena kita bergerak dalam bingkai keikhlasan dan karena ada perniagaan untuk akhirat yang dikejar," tutur drAziz yang kerap juga menjadi relawan bencana di wilayahnya, di Sulawesi Selatan sana. Namun, ia juga menyadari banyak hal yang membuat kendala bagi relawan. Di antaranya adalah edukasi yang kurang massif dan kebijakan dari pemerintah yang simpang siur.
Mendengar penuturan para relawan ini saya hanya bisa bilang salut dan angkat jempol dua jari saya. Semoga Allah yang Mahabaik membalas kebaikan para relawan ini dengan kebaikan yang berkali-kali lipat, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga juga Allah senantiasi melindungi para relawan dari marabahaya, selalu dalam keadaan sehat wa'alfiat sehingga bisa merawat mereka-mereka yang terpapar serangan Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H