Mohon tunggu...
Isti
Isti Mohon Tunggu... Relawan - https://zonapsiko.wordpress.com

Not verified

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Puasa, Jangan Buka Warung!

10 Juni 2015   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selang beberapa hari menyampaikan permintaan maaf untuk polemik pembacaan al Qur'an dengan langgam Jawa, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin kembali meminta maaf kepada publik untuk cuitannya di twitter, yang menurut ummat Islam, kontoversial. Pernyataan apakah itu? Saya kutip saja langsung di sini;

"Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa..,"

Bila ada yang sukarela menutup warungnya,lanjut Menag, tentu kita hormati. Tapi ia mengingatkan, bahwa muslim yang baik tidak memaksa orang lain menutup sumber mata pencaharian demi tuntutan menghormati yang sedang puasa.

"Saling menghormati adalah ideal. Tapi jangan paksa satu kepada yang lain," tutur Menag. (wartaekonomi.com)

Apa ada yang salah dengan pernyataan Menag tersebut?Ya, Menag menyatakan bahwa TIDAK AKAN MEMAKSA warung untuk tutup selama bulan Ramadhan. Saya menduga, sebenarnya bukan pada pernyataan itu yang membuat ummat Islam resah, tetapi pada kalimat Menag selanjutnya yang menyatakan bahwa, ummat Islam juga harus menghormati mereka yang tidak berpuasa. What???

Saya memahami apa yang ada di benak orang-orang yang merasa berhak marah itu. Tentu mereka berpikir bahwa, Ramadhan adalah bulan mulia, bulan di mana ummat Islam diberikan kesempatan seluas-luasya untuk memperbanyak ibadah, termasuk puasa-tidak makan dan minum sepanjang hari hingga jelang Maghrib. Lalu, kenapa orang yang diberi kesempatan mulia untuk beribadah puasa secara khusus, justeru harus menghormati mereka yang bisa makan sepanjang hari sepanjang tahun? Ah ya, mari kita pikirkan masing-masing jawabannya.

Keinginan ummat Islam yang berpuasa itu, mereka yang tidak berpuasa, menghormati sedikit saja dengan menunjukkan sikap dan suasana yang mendukung ummat Islam untuk dapat khusyuk berpuasa. Begitu lah, hukum tidak tertulis yang berlaku selama ini, yang merupakan produk budaya, kompromistis, kesepakatan sosial. Salah satu wujud penghormatan itu adalah tidak membuka warung selama Ramadhan di siang hari. Seolah, dengan bukanya warung-warung dan resto-resto akan menghilangkan kemuliaan Ramadhan. Oh, iya... bau, aroma, kesan dan aura Ramadhannya nggak terasa! Puasanya juga jadi tidak berkesan, hambar! Padahal, ibadah puasa tidak bergantung pada penampakan di luar melainkan pada gerak ruhani, yang meskipun tidak tampak karena saking tersembunyinya. Hanya pelaku puasa dan Tuhan yang tahu. Kita nggak harus menguarkan aroma kasturi mulut kita agar kelihatan puasa. Kita tak perlu pamer lesu dan lemas agar orang lain empati tak makan di hadapan kita.

Saya hanya merasa, kok sebagai ummat Islam, egois banget yak, manja banget yak, kalau begitu. Haus banget penghormatan dari ummat agama lain? Ah ya, siapa bilang penjual makanan itu non muslim? Baiklah... Kalau niatnya puasa, ya puasa saja. Jangankan berjejer pedagang makanan di luar sana, segunung makanan lezat di meja makan, di rumah sepi, nggak ada orang lain, nggak akan tergoda. Lagi pula, puasa bukan soal menahan lapar dan haus saja.

Apa yang diperselisihkan itu, menurut saya, hanya suasana lahiriah, yang sekali lagi bisa direkayasa. Bisa saja memang, semua warung makanan tutup saat bulan Ramadhan. Lalu apakah menjamin puasa saya jauh lebih syar'i, sempurna, dan khusyuk? Saya pikir, ketika ingin mengetahui kualitas ibadah puasa, bukan dengan menuntut agar orang-orang di luar, lingkungan di sekitar, menyediakan dan menyuguhkan suasana senyaman mungkin untuk pelaksanaan puasa saya.

Ibaratnya, sebuah proses bisa dikatakan berhasil bila ada pergerakan dan perubahan peningkatan dari kondisi nol, kurang menjadi lebih baik, sempurna, atau bernilai. Lalu, apa susahnya mengajari anak-anak yang sudah pintar, fasilitas serbaada dan modern? Apa tantangannya? Nyaris tidak ada! Istilahnya, mereka boleh dikatakan sebagai sumberdaya yang sudah hampir jadi. Bandingkan dengan proses pembelajaran yang di dalamnya berada anak-anak dengan kecerdasan rata-rata atau bahkan rendah, fasilitas seadanya bahkan minim, namun mampu mencapai prestasi tinggi, di sini kita bisa mengatakan bahwa proses itu telah berhasil mencapai output yang diharapkan. Meski kedua situasi tersebut sama-sama mencapai nilai sempurna sekalipun, bobotnya berbeda.

Dalam konteks ibadah puasa Ramadhan, sebagai media pendidikan mental, kenapa kita harus tergantung, dan menuntut orang lain untuk merekayasa suasana demi puasa saya? Di mana tantangannya? Justeru, saya bisa merasakan perjuangan, kesungguhan, dan keikhlasan berpuasa manakala saya, bisa bertahan tak tergoda oleh gempuran warteg, restoran di siang bolong, ajep-ajep dan gemerlapnya diskotik di tengah malam. Sejauh mana saya mampu menahan diri untuk mengambil jarak dengan perilaku-perilaku dorongan hawa nafsu.

Puasa Ramadhan sebulan penuh diharapkan menjadi sarana peragian rohani. Melatih mentalitas dan kejiwaan. Apa nggak merugi dan nelangsanya saya, jika dari tahun ke tahun, puasa saya begini-begini saja. Puasa karena memang bulan Ramadhan, puasa yang karena suasananya harus mendukung, puasa yang hanya sebatas urusan nggak makan dan nggak minum. Dan ritus puasa hanyalah satu cara untuk mencapai kualitas kepribadian tertentu.

Tolok ukur keshalehan seseorang justeru pada efek atau output dari puasanya pada perilaku sehari-hari. Apa nggak malu, saat saya masih saja ribut dan mengecam warung yang buka di siang hari selama Ramadhan dengan dalil mengganggu kekhusyukan ibadah, lalu tanpa rasa bersalah, saya justeru rajin bergunjing, mencela, menipu, berdusta, berlaku curang, tidak adil? Yah, puasanya hanya puasa lahir-menahan lapar dan haus saja yang tantangannya nggak ada lagi, karena memang nggak ada warung makanan yang buka. Yakin, puasanya akan jauh lebih berkualitas dan khusyuk jika tak ada warung yang buka? Artinya, lebih baik fokus ke dalam, perbaiki kualitas ibadah diri.

Jika mau dan serius, tegur saja mereka yang menurut penalaran akal sehat, harusnya puasa dengan seenaknya buka warung, merokok, makan di tempat terbuka. Bukan hanya berkoar-koar di media sosial mengecam perilaku tersebut tetapi justeru cuek saat menemui realitas di lapangan.

Akhirnya, dikembalikan kepada penjual makanan. Apa orientasi usahanya, semata-mata bisnis mencari keuntungan duniawi atau keberkahan rizki? Saya tidak berhak menghakimi kualitas keagamaan seseorang. 

Allahu a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun