Puasa Ramadhan sebulan penuh diharapkan menjadi sarana peragian rohani. Melatih mentalitas dan kejiwaan. Apa nggak merugi dan nelangsanya saya, jika dari tahun ke tahun, puasa saya begini-begini saja. Puasa karena memang bulan Ramadhan, puasa yang karena suasananya harus mendukung, puasa yang hanya sebatas urusan nggak makan dan nggak minum. Dan ritus puasa hanyalah satu cara untuk mencapai kualitas kepribadian tertentu.
Tolok ukur keshalehan seseorang justeru pada efek atau output dari puasanya pada perilaku sehari-hari. Apa nggak malu, saat saya masih saja ribut dan mengecam warung yang buka di siang hari selama Ramadhan dengan dalil mengganggu kekhusyukan ibadah, lalu tanpa rasa bersalah, saya justeru rajin bergunjing, mencela, menipu, berdusta, berlaku curang, tidak adil? Yah, puasanya hanya puasa lahir-menahan lapar dan haus saja yang tantangannya nggak ada lagi, karena memang nggak ada warung makanan yang buka. Yakin, puasanya akan jauh lebih berkualitas dan khusyuk jika tak ada warung yang buka? Artinya, lebih baik fokus ke dalam, perbaiki kualitas ibadah diri.
Jika mau dan serius, tegur saja mereka yang menurut penalaran akal sehat, harusnya puasa dengan seenaknya buka warung, merokok, makan di tempat terbuka. Bukan hanya berkoar-koar di media sosial mengecam perilaku tersebut tetapi justeru cuek saat menemui realitas di lapangan.
Akhirnya, dikembalikan kepada penjual makanan. Apa orientasi usahanya, semata-mata bisnis mencari keuntungan duniawi atau keberkahan rizki? Saya tidak berhak menghakimi kualitas keagamaan seseorang.Â
Allahu a'lam