Mohon tunggu...
Neng Ainy
Neng Ainy Mohon Tunggu... Penulis - Guru

''Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.'' Pram

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Zainab binti Ali bin Abi Thalib

20 Oktober 2023   20:44 Diperbarui: 20 Oktober 2023   21:15 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lukisan Zainab binti Ali

Dalam kalender Hijriyah, hari ini adalah hari kelahiran Sayidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib. Mari kita sedikit mengenang tentangnya. 

Anak dari Dua Sosok Mulia

Sayidah Zainab adalah anak ke 3 dari Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah binti Muhammad saw. Perannya di sebuah tragedi bernama Karbala sangatlah penting dan menentukan. Pada saat di Karbala, usianya hampir 56 tahun. 

Ibu dari Empat Putra

Ia adalah ibu dari empat putra. Dua diantara mereka: Aun dan Muhammad membersamainya di Karbala. Mereka berjuang untuk pamannya; Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. 

Filosofi Nama Zainab

Nama Zainab dalam sebuah hadits disebutkan berasal dari Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, kakeknya. Secara bahasa, Zainab berarti kebanggaan sang ayah atau perhiasan berharga sang ayah.

Hobi Zainab Sejak Muda

Sejak usia muda, Zainab mempelajari Al Quran dan ajaran Nabi Muhammad saw dengan sepenuh hati. Oleh karenanya, pada usia yang sangat muda, dia memiliki pengetahuan agama yang sangat mendalam.

Saksi Mata Kepedihan

Zainab menjadi saksi mata dari kesengsaraan ayah, ibu, dan saudaranya. Ia tumbuh dalam lingkungan pemerintahan yang menindas yang menjadikan keluarganya sebagai sasaran kekejaman secara terus menerus.

Pada saat itu, masyarakat Arab sangat patriarki. Peran perempuan dalam politik sangatlah minim. Dalam catatan sejarah ketika ibunya pergi ke pengadilan untuk menuntut haknya, banyak para perempuan yang tidak memperjuangkan haknya.

Peran Zainab Pasca Tragedi Karbala

Jika ditelusuri lebih jauh, peran para perempuan pasca tragedi Asyura (tragedi dimana Al Husain berjuang untuk menegakkan agama kakeknya, Muhammad saw di Karbala) sangatlah banyak. Sayidah Zainab berperan sebagai panglima kafilah yang tersisa pada saat itu. Dia memiliki semua skill dari ayahnya, dimana semua skill tersebut dia gunakan di Karbala. 

Momen yang paling hebat adalah ketika dia berorasi di istana Yazid bin Muawiyah (penguasa kejam pada waktu itu). Orasinya itu membuat para pejabat ketakutan dan mengubah arah pikiran masyarakat tentang hoax tragedi Karbala yang selama ini menganggap keluarga Nabi Muhammad saw sebagai pihak yang bersalah. Meskipun secara fisik keluarga Nabi Muhammad saw banyak terbantai oleh pemerintahan Yazid dan terlihat kalah, tetapi secara hakikat keluarga Nabi saw yang direpresentasikan oleh Al Husain dan keluarganya adalah pemenang sebenarnya. Hal ini sangat terlihat dalam pidatonya yang sangat tegas dan lantang menyuarakan kebenaran, sehingga membuat Yazid gemetar dan merasa berdosa.

Akhlak Zainab

Sayyidah Zainab mencerminkan akhlak seorang perempuan Islam pemberani. Saat putra Al Husain, Ali Zainal Abidin sedang sakit  berat, dan Yazid berusaha membunuhnya, Sayyidah Zainab menghalanginya dan bersuara dengan lantang "Masih belum cukupkah darah keturunan Muhammad saw kamu tumpahkan? Sungguh celaka kamu ini hai Yazid! Kalo kamu mau bunuh dia, bunuhlah aku terlebih dahulu!". Satu persatu anggota keluarganya dibantai tentara Yazid, termasuk bayi kecil 6 bulan yang dipanah lehernya. 

Keberanian, kebijaksanaan, dan kesucian hati Sayyidah Zainab berhasil melawan pemerintahan Yazid yang sangat tirani dan korup. Sejak saat itu para perempuan Karbala mendapat posisi tinggi dan terhormat di hadapan masyarakat. Perjuangan para perempuan Karbala yang dipimpin Sayyidah Zainab ini dengan nyata berhasil menghidupkan peristiwa Asyura di hati semua manusia di berbagai belahan dunia hingga saat ini. 

Para perempuan Karbala berkesempatan untuk mengkampanyekan kebenaran kepada semua orang di setiap tempat yang kafilahnya lewati. Jika tidak ada peran perempuan yang terus berjuang disana, akankah kebenaran dan kebatilan terlihat? Jika tidak ada perjuangan tulus dari para perempuan, akankah si penindas dan yang tertindas dapat dibedakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun