Mohon tunggu...
Sang Pejalan
Sang Pejalan Mohon Tunggu... Penulis - Hamba Tuhan

''Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.'' Pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suamiku Sahabat Sejatiku

7 Oktober 2023   20:30 Diperbarui: 7 Oktober 2023   21:15 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sahabat sejati by kibrispdr. org

Kala itu, di saat hatiku terasa sepi, dipenuhi amarah dan rasa kecewa, seorang yang tulus datang ke dalam hidupku. Ia membawa banyak rangkaian kalimat nasehat untukku. Kehadirannya memberiku semangat hidup baru. Cita-citaku, harapan-harapanku yang sempat pupus dulu, kini bergelora kembali setelah kedatangannya.

Waktu itu, pagi hari. Ketika aku berada di Pare, Kediri. Telepon pintarku berbunyi. Mengisyaratkan ada pesan masuk melalui instagram. Pesan itu dari dia. Seseorang yang sangat tulus. Seseorang yang membawa rangkaian kalimat nasehat itu.

“Selamat pagi. Bagaimana kabar hatimu? Bagaimana kabar saudara-saudarimu?”, sapanya waktu itu.

“Selamat pagi. Segala puji bagi Allah, dengan izin-Nya, kabar hatiku dan saudara-saudariku baik-baik saja.”, jawabku.

Begitulah pagi itu ia mengawali niatnya untuk menjadi sahabat sejatiku. Sahabat yang ternyata sudah bersedia menungguku bertahun-tahun lamanya. Aku tidak tahu bahwa selama ini ada sosok yang selalu mendoakanku dalam setiap sujud. Dalam setiap selesai shalat itu.

Hari demi hari berlalu. Menanti kisah baru di antara aku dengan sosok yang aku sebut sahabat sejati. Hingga akhirnya tibalah saat kita bertukar nomor ponsel. Banyak hal baru yang aku pelajari dari sahabat sejatiku. Mulai dari hal kecil, hingga hal-hal besar. Semuanya menjadi begitu bermakna. Percakapanku dengannya selalu menghasilkan ilmu pengetahuan, wawasan baru, dan pengalaman.

“Ngomong-ngomong, kamu bisa me-ruqyah ya?” Pertanyaan pertamaku setelah aku melihat unggahan-unggahannya di sosial media. 

Ya, itulah pertanyaan pertamaku padanya yang mengawali diskusi-diskusi bermakna ke depannya.

“Sejak tamat SD saya sudah sering melakukan pengobatan lewat Ruqyah. Kadang-kadang juga lewat hipnoterapi.”, jawabnya.

“Wah, hebat sekali. Aku baru lihat ada anak muda yang bisa me-ruqyah orang lain.”

“Dulu saya pesantren di salah satu pesantren tahfidz al Quran, tapi saya banyak mendalami Islam di Bandung. Ceritanya, waktu itu Bapak saya meninggal karena santet. Bermula dari situ, saya belajar me-ruqyah semenjak di pondok.”

Diskusi panjang pun terjadi begitu saja. Mengalir seperti air yang selalu mencari celah kosong untuk diisi. Setiap kali ada celah kosong untuk pertanyaan baru, dengan senang hati ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Amat menyenangkan berkenalan dengannya! 

“Tulisan-tulisan kamu di blog bagus. Saya tertarik dengan gaya penulisan kamu. Sampai berulang kali saya baca.”,tiba-tiba dia mengapresiasi karyaku.

“Wah, terimakasih ya...”

“Saya senang dengan orang yang banyak berkarya dan cenderung menyukai ilmu pengetahuan.”, ia kembali memujiku.

“Saya kagum dengan kamu. Saya belajar mengenali kamu lebih dalam lewat tulisan-tulisan kamu. Ternyata kamu adalah salah satu bentuk keindahan wajah Tuhan.”

Mataku seketika berkaca-kaca. Begitu mulianya dia, mengaitkan segala sesuatu dengan nilai-nilai Ilahiyyah

Kekagumanku padanya mulai tumbuh sejak saat itu. Aku merasa dipertemukan dengan sosok  yang satu jiwa denganku. Frekuensi berpikirku menambah getarannya setelah bertemu dengan frekuensi berpikirnya.

“Saya cuma berani bisikin kamu lewat do’a. Saya berharap selama bertahun-tahun agar kamu dijadikan sahabat sejatiku, di dunia dan akhirat. Saya tidak tahu harus bilang apa. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu beriman, faktanya iblis lebih beriman. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu pintar, faktanya banyak juga yang lebih pintar dari kamu. Saya tidak mau merekayasa lewat ilmu retorika.”

Tak kuasa aku berkata. Tak lama ia melanjutkan.

“Jadi selama ini saya berharap ke kamu, dan baru sekarang saya berani. Itulah perjalanan hidup. Mungkin cukup jadi harapan saja.”

“Terimakasih banyak sudah mau jujur.” Jawabku.

“Maafkan saya jika saya terlalu lancang. Selama ini saya gak mau ganggu kamu, karena saya takut kalau tindakan saya justru menjauhkan. Saya cuma berharap agar Allah memberikan wasilah untuk bisa ungkapkan secara langsung tanpa harus mendobrak tiang-tiang syari’at.”

Allah... seketika aku terdiam menyimak kalimat-kalimatnya.

“Saya tidak mau mengganggu kamu selama ini hanya untuk menjaga kesucian kamu.”

Air mataku yang semula hanya berupa embun, sekarang berubah seperti air terjun yang mengeluarkan kesegaran dari sumber mata airnya yang jernih.

“Aku suka ketaatan kamu sama Tuhan. Semoga istiqamah.” Jawabku dengan deraian air mata.

“Banyak yang lebih taat. Manusia memandang saya taat, tetapi belum tentu dalam pandangan Allah seperti itu.”, ia melanjutkan.

“Dulu saya kagumi kamu, dan sampai hari ini pun tetap sama. Apa yang kamu lakukan saat dulu tidak merubah cinta saya. Jika sedikit saja berubah, maka itu bukan cinta. Saya tidak terlalu berharap untuk memiliki kamu karena saya tahu diri. Saya cukup mencintai kamu dan kamu tahu bahwa saya cinta ke kamu. Bisa bicara seperti ini pun saya sudah sangat bersyukur.”

Bergejolak rasa kagumku padanya. 

“Bagaimana caranya agar aku bisa yakin padamu?”, jari-jariku menulis pesan itu padanya.

Lama menunggu jawaban darinya, beberapa jam kemudian terdengar bunyi ponselku yang berisi pesan darinya.

“Tidak ada cara lain selain ijab wal qabul. Karena bagi saya, cinta itu dibuktikan dengan ijab wal qabul. Bukan dengan cara-cara terlaknat. Saya tidak mau ajak kamu pacaran, karena jika begitu, sama saja saya ajak kamu terjun bareng ke neraka.”

Begitulah, sepenggal kisah seorang pemuda yang sejak lama berjuang, menunggu perjumpaan dengan kekasih hatinya. Pemuda yang kini sudah menikahiku, adalah dia sahabat sejatiku. Ketenanganku dan kebahagaiaanku.

Karya : Neng Ainy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun