“Terimakasih banyak sudah mau jujur.” Jawabku.
“Maafkan saya jika saya terlalu lancang. Selama ini saya gak mau ganggu kamu, karena saya takut kalau tindakan saya justru menjauhkan. Saya cuma berharap agar Allah memberikan wasilah untuk bisa ungkapkan secara langsung tanpa harus mendobrak tiang-tiang syari’at.”
Allah... seketika aku terdiam menyimak kalimat-kalimatnya.
“Saya tidak mau mengganggu kamu selama ini hanya untuk menjaga kesucian kamu.”
Air mataku yang semula hanya berupa embun, sekarang berubah seperti air terjun yang mengeluarkan kesegaran dari sumber mata airnya yang jernih.
“Aku suka ketaatan kamu sama Tuhan. Semoga istiqamah.” Jawabku dengan deraian air mata.
“Banyak yang lebih taat. Manusia memandang saya taat, tetapi belum tentu dalam pandangan Allah seperti itu.”, ia melanjutkan.
“Dulu saya kagumi kamu, dan sampai hari ini pun tetap sama. Apa yang kamu lakukan saat dulu tidak merubah cinta saya. Jika sedikit saja berubah, maka itu bukan cinta. Saya tidak terlalu berharap untuk memiliki kamu karena saya tahu diri. Saya cukup mencintai kamu dan kamu tahu bahwa saya cinta ke kamu. Bisa bicara seperti ini pun saya sudah sangat bersyukur.”
Bergejolak rasa kagumku padanya.
“Bagaimana caranya agar aku bisa yakin padamu?”, jari-jariku menulis pesan itu padanya.
Lama menunggu jawaban darinya, beberapa jam kemudian terdengar bunyi ponselku yang berisi pesan darinya.