Mohon tunggu...
Sang Pejalan
Sang Pejalan Mohon Tunggu... Penulis - Hamba Tuhan

''Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.'' Pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suamiku Sahabat Sejatiku

7 Oktober 2023   20:30 Diperbarui: 7 Oktober 2023   21:15 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dulu saya pesantren di salah satu pesantren tahfidz al Quran, tapi saya banyak mendalami Islam di Bandung. Ceritanya, waktu itu Bapak saya meninggal karena santet. Bermula dari situ, saya belajar me-ruqyah semenjak di pondok.”

Diskusi panjang pun terjadi begitu saja. Mengalir seperti air yang selalu mencari celah kosong untuk diisi. Setiap kali ada celah kosong untuk pertanyaan baru, dengan senang hati ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Amat menyenangkan berkenalan dengannya! 

“Tulisan-tulisan kamu di blog bagus. Saya tertarik dengan gaya penulisan kamu. Sampai berulang kali saya baca.”,tiba-tiba dia mengapresiasi karyaku.

“Wah, terimakasih ya...”

“Saya senang dengan orang yang banyak berkarya dan cenderung menyukai ilmu pengetahuan.”, ia kembali memujiku.

“Saya kagum dengan kamu. Saya belajar mengenali kamu lebih dalam lewat tulisan-tulisan kamu. Ternyata kamu adalah salah satu bentuk keindahan wajah Tuhan.”

Mataku seketika berkaca-kaca. Begitu mulianya dia, mengaitkan segala sesuatu dengan nilai-nilai Ilahiyyah

Kekagumanku padanya mulai tumbuh sejak saat itu. Aku merasa dipertemukan dengan sosok  yang satu jiwa denganku. Frekuensi berpikirku menambah getarannya setelah bertemu dengan frekuensi berpikirnya.

“Saya cuma berani bisikin kamu lewat do’a. Saya berharap selama bertahun-tahun agar kamu dijadikan sahabat sejatiku, di dunia dan akhirat. Saya tidak tahu harus bilang apa. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu beriman, faktanya iblis lebih beriman. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu pintar, faktanya banyak juga yang lebih pintar dari kamu. Saya tidak mau merekayasa lewat ilmu retorika.”

Tak kuasa aku berkata. Tak lama ia melanjutkan.

“Jadi selama ini saya berharap ke kamu, dan baru sekarang saya berani. Itulah perjalanan hidup. Mungkin cukup jadi harapan saja.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun