“Dulu saya pesantren di salah satu pesantren tahfidz al Quran, tapi saya banyak mendalami Islam di Bandung. Ceritanya, waktu itu Bapak saya meninggal karena santet. Bermula dari situ, saya belajar me-ruqyah semenjak di pondok.”
Diskusi panjang pun terjadi begitu saja. Mengalir seperti air yang selalu mencari celah kosong untuk diisi. Setiap kali ada celah kosong untuk pertanyaan baru, dengan senang hati ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Amat menyenangkan berkenalan dengannya!
“Tulisan-tulisan kamu di blog bagus. Saya tertarik dengan gaya penulisan kamu. Sampai berulang kali saya baca.”,tiba-tiba dia mengapresiasi karyaku.
“Wah, terimakasih ya...”
“Saya senang dengan orang yang banyak berkarya dan cenderung menyukai ilmu pengetahuan.”, ia kembali memujiku.
“Saya kagum dengan kamu. Saya belajar mengenali kamu lebih dalam lewat tulisan-tulisan kamu. Ternyata kamu adalah salah satu bentuk keindahan wajah Tuhan.”
Mataku seketika berkaca-kaca. Begitu mulianya dia, mengaitkan segala sesuatu dengan nilai-nilai Ilahiyyah.
Kekagumanku padanya mulai tumbuh sejak saat itu. Aku merasa dipertemukan dengan sosok yang satu jiwa denganku. Frekuensi berpikirku menambah getarannya setelah bertemu dengan frekuensi berpikirnya.
“Saya cuma berani bisikin kamu lewat do’a. Saya berharap selama bertahun-tahun agar kamu dijadikan sahabat sejatiku, di dunia dan akhirat. Saya tidak tahu harus bilang apa. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu beriman, faktanya iblis lebih beriman. Kalau saya bilang saya mencintai kamu karena kamu pintar, faktanya banyak juga yang lebih pintar dari kamu. Saya tidak mau merekayasa lewat ilmu retorika.”
Tak kuasa aku berkata. Tak lama ia melanjutkan.
“Jadi selama ini saya berharap ke kamu, dan baru sekarang saya berani. Itulah perjalanan hidup. Mungkin cukup jadi harapan saja.”