Mohon tunggu...
Lala LailatulBadriyah
Lala LailatulBadriyah Mohon Tunggu... Novelis - Jika Allah ridho padaku, maka tidak ada lagi yang lebih aku senangi.

Semakin besar suatu pohon, maka besar pula angin yang menerpanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasih Seorang Kakak

8 Mei 2020   13:35 Diperbarui: 8 Mei 2020   13:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepagi ini aku sudah mendapatkan surat. Selama ini aku tak pernah menerima surat dari siapapun. Tapi surat ini cukup untuk membuatku kaget. Kakak sakit parah?

Aku seakan tak percaya kabar dari surat itu. siapa pula yang mengirimkan surat ini. tak ada nama pengirimnya di sana. Aku kembali duduk di balkon menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tidak, aku tidak percaya surat itu, kalaupun benar, aku tidak ingin menjenguknya. Sudah cukup luka yang terpahat di hatiku. 

Hati ini tidak bisa lagi menampung luka meskipun satu. Aku akan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Selama ini sku sudah bersabar menghadapinya, tapi sia -- sia semua kesabaranku. Aku tidak habis pikir akan punya kakak seperti itu. aku selalu iri melihat rekan kerja yang punya kakak berhati baik. Bahkan mereka dekat denganku dan selalu mampir ke rumah.

Apa aku salah membenci kakakku sendiri?

Entahlah. Aku tidak tau jawabannya.

Aku menghembuskan nafas pelan. Kuminum teh yang sebelumnya aku buat. Aku termangu di depan laptop tidak bisa fokus bekerja. Semua kenangan itu berkelebat begitu saja di hadapanku. Tak ubahnya televisi yang nyala. Bayangan itu muncul begitu saja mengganggu pekerjaanku. Kakak yang selalu berteriak membangunkanku pagi buta. Kakak yang selalu memarahiku saat aku tidak selesai bekerja. Kakak yang selalu menyuruhku membaca. 

Aku bosan.

Aku berjalan menuruni anak tangga menuju taman. Mungkin berhibur sedikit cukup untuk menghilangkan bayangan itu. Aku mengambil pelet yang tergeletak di meja dekat pintu. Aku ingin memberi makan ikan di kolam taman. Mungkin bisa menjadi selingan yang baik sebelum melanjutkan kerja.

"Tuan, ada telpon." Pelayan berseru, di belakangku.

"Siapa?" jawabku tak menoleh. Tanganku masih melempar pelet.

"Katanya kerabat tuan, dia tidak menyebutkan namanya."

Aku menghembuskan nafas. Bahkan saat aku tidak ingin diganggu pun tetap saja bandel. "Baik, bi. Aku nanti ke sana." Aku meletakkan makanan ikan di samping kolam. Pelayan itu hanya mengangguk lantas kembali ke dapur menyambung pekerjaan yang tertunda.

"Hallo." Ucapku datar.

"Tegar, akhirnya aku bisa menghubungimu setelah sekian lama." Orang di seberang telpon berseru riang.

"Ada apa? Aku tidak punya banyak waktu. Aku sedang sibuk." Aku menjawab ketus. Orang di seberang telpon mengernyitkan dahi.

"Astaga, Tegar! Aku hanya ingin mengabarkanmu kalau kakakmu sakit. Tidakkah kau ingin menjenguknya? Dia selalu memanggil nama kau. Seharusnya kau kemari saat menerima surat dariku."

Ternyata dia yang mengirim surat. Pantas saja dia tidak mencantumkan namanya. Sepertinya dia sudah tau kalau aku menerima surat darinya, sampai kapanpun aku tidak mau membacanya bahkan menerimanya pun enggan. 

Sejak aku pergi dari rumah, aku memutuskan tidak ingin menghubungi mereka apalagi pulang. Buat apa? Toh aku hanya akan mengganggu kehidupan mereka. bukan begitu yang dikatakan kakakku dulu saat aku memecahkan barang berharga milik kakak pemberian dari temannya.

"Kau selalu saja membuat onar, Tegar! Tidakkah kau bisa tenang dengan kehidupanmu sendiri? Tidak selalu mengganggu hidupku? Selalu saja membuatku marah!" kakakku membanting pintu kamarnya setelah membentakku.

Saat itu aku berumur lima belas tahun. Masih kelas satu SMA. Itu hanya sebagian kecil pertengkaranku dengannya. Hampir setiap hari ada saja yang di permasalahkan. Setiap apa yang kulakukan selalu salah di matanya. Hampir tidak ada kata pujian meskipun aku sudah berbuat baik.

"Pulanglah, Tegar. Kau sudah terlalu lama meninggalkan kami. Jangan kau siram kebencian itu di hati kamu. percayalah, kakakmu sangat menyayangi kamu terlepas dari apa yang selama ini ia perbuat untuk kamu. lupakan kesalahannya, tidakkah ada kebaikannya yang kau ingat walaupun itu hanya satu?"

Aku hanya menghela nafas perlahan mendengar kalimatnya. Ya, sudah hampir sepuluh tahu aku meninggalkan rumah tanpa kabar. Bahkan aku sudah punya rumah sendiri di sini. Sejak ayah dan ibu tidak ada, perangai kakak berubah delapan puluh drajat. Ia jadi selalu marah-marah, kesal, mengurung diri di kamar. Tak pelak selalu aku yang jadi pelampiasannya.

"Baiklah Tegar, jika memang kau tidak ingin pulang, setidaknya kau balas suratku untuk kakakmu. Ia sudah menunggu balasan surat itu. ingat, kakakmu selalu menyayangimu. Sampai kapanpun." Telpon ditutup.

Aku kembali ke kamar untuk mandi. Berganti pakaian dan pergi keluar untuk mencari makan. Aku tak ingin makan di rumah. Pukul sepuluh aku baru kembali ke rumah dan langsung tidur.

Esok pagi aku kembali terbangun oleh mimpi yang tidak aku sukai. Aku mengusap wajah. Hari ini weekend, tidak ada salahnya aku pulang ke rumah menjenguk kakak. 

Siang harinya aku langsung berangkat menggunakan mobil pribadi menuju yogyakarta. Mampir sebentar ke supermarket membeli makanan. Baru tiba di rumah pukul enam sore. Aku meneguhkan hati saat mobil masuk pelataran rumah. Tidak ramai, ada beberapa lampu yang menyala terang.

Saat aku tiba di bingkai pintu, aku terdiam membisu. Memandang kosong daun bintu yang tidak pernah berubah sepuluh tahun terakhir. Aku hendak mengetuk pintu saat seseorang membukanya.

"Ah, tegar. Akhirnya kau datang juga. Kakakmu sudah menunggumu sejak kemarin. Di terus-terusan memanggil namamu. Segeralah kau temui dia. Dia akan senang bertemu denganmu." Paman Khan yang menyapa. Ia yang menelpon juga mengirim surat ke rumahku.

"Aku tidak bisa lama-lama di sini, paman. Pekerjaanku masih banyak. Aku harus segera menyelesaikannya." Jawabku datar.

"Kau selalu saja begitu." Paman berseru lantang. Ia menepuk bahuku. "Yasudah. Segera temui kakakmu. Dia ingin berbicara denganmu sebelum kau pergi."

Aku hanya mengangguk.

Aku melangkah menuju kamar lantai dua. Di sana seseorang terbaring lemah tak berdaya. Berbeda sekali dengan keadaannya yang dulu. Aku mematung di bawah bingkai pintu. Menatap datar suasana yang terjadi. Lihatlah, kakakku sekarang sedang terbaring lemah. Tapi kenapa tak sedikitpun aku merasakan kesedihan. Bahkan sebaliknya, terbesit rasa marah di hatiku. Ingin aku segera berlari dari tempat ini.
Seseorang menyadari keberadaanku. "Tegar, kau datang, nak."

"Mana Tegar?" suara parau kakak bertanya hampir tak terdengar. Sebagai jawabannya, aku maju melangkah mendekati tempat tidur meletakakkan bingkisan yang kubawa.

Satu butir air menetes di pipinya yang pucat. Entahah, apa perasaanku sekarang. Semuanya tak menentu. Aku hanya duduk di kursi kosong samping tempat tidur.

"Kakak ingin bicara sama kamu. mendekatlah. Kakak mohon." Pintanyanya.

"Bicaralah." Aku maju lebih dekat.

Wanita itu menghembuskan nafas pelan. Terasa berat terdengarnya. Aku menunggu kakakku bicara. Ia memejamkan mata sejenak kemudian mulai bicara. 

"Kakak minta maaf sama kamu. sejak kecil kakak selalu marah sama kamu." itulah kalimat pertama yang keluar. Aku hanya menunduk. Memandang tempat tidur yang mulai tipis.

"Waktu kakak tidak banyak lagi. Kakak hanya minta satu hal sama kamu." aku tetap diam menunduk. "Kakak ingin kau memaafkan semua kesalahan kakak, agar kakak pergi dengan tenang. Kakak mohon." Kembali air matanya menetes.

Kakak menyentuh tanganku. Terasa dingin. Aku tetap terdiam. Wanita itu memejamkan matanya lagi. "Jika kau tidak ingin memaafkan kakak, tidak apa Tegar. Satu hal yang harus kamu tau. Kakak selalu menyayangimu sampai kapanpun."

Sayang? Sayang seperti apa? Dengan selalu memarahiku setiap hari, apa itu yang dinamakan sayang?

Tapi kalimat itu hanya terucap dalam hati.

Saat kalimat itu terucap, terang di wajahnya mulai memudar, nafasnya menderu kencang.

"Sel! Bertahanlah!" ucap paman. Wajahnya mulai panik. Tapi takdir berkata lain. Semuanya berhenti begitu saja. Sentuhannya perlahan terlepas.
Terlambat. Kakak sudah tiada. Semua orang menangis. Aku tidak.

Keesokan harinya, kakak dikebumikan. Banyak orang yang mengiringi kepergian kakak. Hampir semuanya aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu kenapa begitu banyak yang kehilangan. Tanpa kusadari, egolah yang menutup mataku hingga aku tak tau hal kecil. Selepas kepergian kakak, aku kembali ke Jakarta. Sebelum pergi, paman menitipkan surat kepadaku.

"Bacalah setelah kau sampai di rumah. Aku harap kau bisa berubah. Dan mengerti apa yang terjadi selama ini." Aku hanya mengangguk.

Jalanan lengang tidak seperti biasanya. Jadi aku bisa lebih cepat sampai di rumah. Aku penasaran dengan isi surat itu. selepas istirahat sejenak, aku mengambil suratnya yang tersimpan di saku kemeja.

"Dear Tegar, Paman tahu kau benci sama kakakmu. Tapi sungguh, paman mohon jangan sampai kebencianmu menutup semua kasih sayangmu terhadap kakakmu. Akan paman ceritakan sesuatu yang mungkin tidak kamu ketahui selama ini. semoga ini bisa membuat akar kebencian yang ada dalam hatimu mengering.

Semenjak ayah dan ibumu meninggal, kakakmu sangat terpukul. Saat itu kamu masih sangat kecil. Sejak kecil kakakmu mengurusmu dengan sangan baik, hingga suatu ketika kecelakaan menimpanya. Kakakmu lumpuh. Hanya itu yang kamu tau. Tanpa tau penyebabnya. Kakakmu lumpuh karena menolongmu saat kau akan tertabrak. 

Kakakmu selalu menyalahkan diri sendiri saat menyadari ia selalu merepotkan orang-orang disekitarnya. Karena itu, ia selalu marah. Tapi, sebelum itu, ia selalu berbuat baik kepada semua orang. Tidak pandang bulu. Tapi sayang, kebaikan itu tidak membantu banyak saat ia kecelakaan. Ketahuilah, setelah ia menyadari kesalahannya karena memarahimu, dia selalu menangis tersedu-sedu diatas sejadahnya. 

Dia selalu mendoakanmu. Hanya saja ia tak tahu bagaimana cara untuk mengugkapkan rasa sayangnya padamu. Dia terpaksa menitipkanmu pada paman, karena dia tidak mau kamu kesusahan dan juga putus sekolah. untuk itu dia bekerja keras sebelum kakinya lumpuh. 

Uangnya ia titipkan pada paman. Apa yang selama ini terjadi, tidak seperti yang kamu kira. Kakakmu sangat menyayangimu. Kau bisa menyelesaikan pendidikanmu setinggi ini karena kakakmu. Ia rela berhenti sekolah demi kamu. jangan pernah kamu salah memaknai kemarahan kakakmu. Sungguh, kakakmu sangat baik. Kakakmu sangat menyayangimu. Jangan kau lupakan kebaikannya hanya karena satu kesalahan. Paman mohon. Mengertilah.
Pamanmu,"

Setelah aku membaca surat itu, aku tertegun. Tak terasa bulir air mata jatuh di pipiku. Selama ini aku hanya tau kakakku tidak mau merawatku karena dia lumpuh. 

Aku hanya tau fakta bahwa kakakku selalu marah. Tidak pernah satu kali aku benar di matanya. Selalu saja salah. Selama ini aku tidak pernah tau kejadian sebenarnya. Kini aku tau kenapa kakak selalu marah. Bukan karena dia membenciku. Bukan karena dia tidak menyukaiku.
Tapi semuanya terlambat. Kakak sudah tiada sebelum aku mengetahui yang sebenarnya.
Kakak maafkan aku. Sungguh maafkan aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun